Oleh. Galuh Fajriyah Galura
31
Desember 2013, 11:58 PM
Sudah
seribu kali rasanya Maura menguap. Matanya mengerjap-ngerjap, menahan rasa
perih mata yang terasa berair. Meski rasa lelah berdenyut-denyut di sekitar
keningnya, begitu juga serupa beban menggelayut manja di lehernya, sambil
memandang langit Maura mengurut sedikit bagian belakang lehernya. Secangkir
kopi hitam yang baru saja diminumnya, sama sekali tidak terasa pengaruhnya.
Maura
melirik jam tangan silver melingkar di tangannya, jarum panjang jam yang
berkilau hampir bersatu dengan jarum pendek jam yang duduk menunjuk manis ke
angka dua belas. Maura kemudian meluruskan kakinya, terasa rumput yang basah
oleh embun menggelitik betisnya yang tidak tertutupi celana capri warna hijau
muda sebatas lutut.
Maura
menengadahkan kepalanya, menurunkan sedikit posisi badannya, dan bertumpu pada
kedua tangannya di belakang tubuhnya. Tidak lama, terdengar suara berdengung
diikuti dengan suara letupan dan warna-warni yang membuat rona di pekatnya
langit. Inilah yang selalu Maura nantikan...kembang api. ‘Happy New Year, Panca..’, bisik Maura. Merah, kuning, hijau, ungu,
membentuk bercak-bercak di langit yang memantul pada sepasang matanya yang
ditahannya untuk tidak berkedip, tidak mau ketinggalan satu warna pun, meski
udara dingin sedikit menggoyahkannya. Maura menggosok-gosokan kedua telapak
tangannya lalu menempelkannya pada pipinya yang dingin. Suara letupan kembang
api semakin menjadi-jadi, rona warna-warni semakin lincah beradu di langit
pekat. Meski sudah dua puluh tahun lebih menikmati kembang api di pergantian tahun,
mata Maura tetap berbinar menatap semburan bunga api yang berwarna-warni.
Suara
langkah kaki mengalihkan pendengaran Maura dari gemuruh letupan kembang api.
Maura melirik ke jalan setapak guest
house yang berada lebih rendah dari pavillion-nya.
Sesosok lelaki tinggi, dengan rambut dikucir. Tas kamera tersampir di bahunya.
Maura tidak dapat melihat begitu jelas wajahnya, tapi dari perawakannya yang
tinggi, Maura yakin lelaki itu adalah bukan orang Indonesia. Maura menyipitkan
matanya, berusaha untuk dapat melihat lebih jelas. Bukannya mendapatkan
pemandangan lebih jelas, Maura malah melihat lelaki tersebut tidak sengaja
menjatuhkan sesuatu ketika sedang mengambil sesuatu dari tas yang menyampir di
bahunya. Maura langsung bangkit dari tempatnya duduk. Maura buru-buru melangkah
menuruni tangga pavillion-nya. Lelaki
tersebut terlihat sudah melewati pavillion-nya
dan semakin menjauh. “SIR!!!”, Maura
setengah berteriak sambil berlari lebih cepat menuju ke tempat dimana lelaki
tersebut menjatuhkan sesuatu.
Maura
mendapati sebuah buku kecil, dibaliknya buku tersebut. ‘Passport.’. Maura memungutnya, kemudian berbalik mencari sosok
lelaki tersebut. Maura mendapati lelaki tersebut berdiri agak jauh dengan kepalanya
menoleh ke arah Maura. Maura menghela nafas, kemudian berlari menuju lelaki
tersebut.
“Your... Pass.. port...”,
ujar Maura terbata sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan setelah
terpaksa melakukan sprint saat
tenaganya hanya tersisa untuk berjalan ke tempat tidur.
“Oh..
Terima kasih.”, jari lentik dengan kulit seputih porselen menerima paspor yang
diasongkan Maura. Maura mendongakkan kepalanya, keningnya berkerut mendengar
kata-kata dalam bahasa Indonesia tapi dilafalkan dengan logat asing. Hidung
mancung, bentuk wajah yang tajam, bibir tipis merah muda, sepasang alis yang
melengkung tajam menaungi sepasang mata bulat tapi kecil. Semuanya terpatri
halus di atas kulit wajah seputih porselen.
“Sama-sama.”,
Maura berujar sambil masih meneliti setiap garis dari wajah yang
mengingatkannya pada pajangan boneka jepang oleh-oleh dari tantenya. Maura lalu
menganggukkan kepalanya hendak pamit.
“Tunggu.”,
lagi-lagi kata dalam bahasa Indonesia dengan suara berat dan sedikit kaku,
dilafalkan seperti sedang mengulum sesuatu. “Belum kenal.”, senyum mengembang
di wajahnya lelaki tersebut.
“Ohh..
Ya. Maura.”, Maura tersenyum kemudian mengasongkan tangan kanannya.
“Hatasaki.”,
lelaki tersebut membalas jabat tangan Maura.
“Eh?”,
Maura mengerutkan keningnya.
“Hatasaki.”,
lelaki tersebut mengulanginya. “Hati sakit.”.
“Hah?”,
Maura menahan tawa.
“Hatasaki.
Hati sakit, supaya mudah diingat.”.
“Ooohh..”,
Maura tertawa. “Jangan. Hati sakit itu tidak enak, Hatasaki.”, Maura
menggerakkan tangannya tanda tidak setuju.
Hatasaki
menggaruk kepalanya pelan. “Ah ya..”, Hatasaki memasukkan passportnya ke saku
tas kameranya, kemudian tangannya merogoh saku yang lainnya mengeluarkan
sesuatu berwarna muda berukuran dua kali jari manisnya, lalu memberikannya
kepada Maura. “Untuk hati sakit jadi enak.”.
Maura
melihat tulisan berwana merah dengan alas putih tercetak diatas bungkusan
berwarna merah muda, ditambah serangkaian huruf dalam bahasa jepang di bawahnya.
Maura bisa merasakan wafer yang dibalut gula-gula coklat berada di dalam bungkus
tersebut. “Terima kasih.”, Maura tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Maura baru menyadari deru kembang api yang meletup-letup sudah berakhir, malam
kembali hening dan langit kembali kelam. “Saya pulang ya Hatasaki. Mau tidur.”,
Maura memiringkan kepalanya sambil pura-pura bersandar pada kedua tangannya.
“Terima
kasih. Sampai bertemu kembali.”.
“Sampai
bertemu lagi.”.
***
Maura
menyesap secangkir latte panas, menghirup dalam-dalam asap yang mengepulkan
aroma kopi. Sweater turtleneck
berwarna merah yang dikenakannya masih kecolongan dalam menghalau udara dingin
Dago atas di pagi hari. Maura kembali menaruh cangkir kopinya, jemarinya
mengelus permukaan cangkir yang hangat. Matanya bergerak naik turun melihat
deretan tabel itinerary hari ini.
Jadwal
setelah sarapan adalah mengantar para turis ke Rumah Bunga Rizal. Maura mengambil tab lalu mulai melakukan browsing.
Beberapa gambar bunga anggrek berwarna-warni muncul di layar tab. Jari Maura memilih sebuah halaman
blog yang muncul paling atas.
“Selamat
pagi.”. Maura mengalihkan pandangan dari tab-nya
dan mendapati Hatasaki dengan sweater
berwarna maroon sambil membawa sebuah cangkir dengan asap mengepul.
“Halo,
selamat pagi Hatasaki.”, Maura tersenyum.
“Boleh
duduk sini?”, Hatasaki menunjuk kursi kosong di depan Maura.
“Boleh.
Silakan duduk Hatasaki.”, Maura mengangguk lalu menaruh kembali tab-nya.
Hatasaki
duduk lalu menyesap sedikit dari cangkirnya. “Maura sedang sibuk? Saya ganggu kah?”.
Maura
menggeleng pelan. “Tidak kok. Saya sedang browsing.”.
Hatasaki
melirik kertas itinerary, kemudian
mengambilnya dan membacanya. “Ini schedule
tur Maura hari ini? Banyak sekali.”.
Maura
mengangguk. “Hatasaki hari ini pergi kemana di jadwal tur-nya?”.
“Saya
belum tahu mau kemana.”.
“Loh
memang guide tour-nya tidak
membagikan jadwal?”, kening Maura berkerut.
“Saya
pergi sendiri.”, Hatasaki tersenyum.
“Oh..
Saya pikir kamu ikut rombongan perjalanan.”, Maura tersenyum lalu tiba-tiba
tangannya menepuk tangan Hatasaki. “Hei, kalau kamu belum tahu mau kemana, kamu
ikut rombongan saya saja.”.
Kening
Hatasaki berkerut, alisnya yang melengkung dan menukik indah bertaut di tengah.
“Saya kan tidak daftar.”.
“Tenang
aja Hatasaki, I’m the guide tour.”.
“Kamu
guide tour?”, Hatasaki terperangah.
“Saya kira kamu turis juga.”.
Maura
mengangguk. “Iya, saya guide tour.
Hatasaki berlibur sendiri ya? Berani sekali.”.
“Iya
saya suka travelling. Saya sedang libur
akhir tahun. Saya kerja di Jakarta.”.
“Saya
juga suka travelling, kantor
perusahaan saya juga di Jakarta, Hatasaki.”.
“Guide tour itu adalah pekerjaan yang sughoi.. Keren!”.
***
Maura
masih tidak percaya apa yang ada di hadapannya, seorang ekspatriat jepang berbicara
dengan bahasa Indonesia yang lancar dibumbui logat jepang menceritakan legenda Gunung Tangkuban Parahu. Meski mungkin
tata bahasa Hatasaki masih berantakan, Maura masih kagum dengan kemauan
Hatasaki belajar bahasa Indonesia.
Hatasaki
menceritakan legenda Sangkuriang yang pernah dibacanya saat berselancar di
dunia maya. Pemandangan gunung mirip perahu terbalik yang diselimuti kabut
terhampar di hadapan mereka berdua.
“Sangkuriang
marah dan hati sakit, perahu ditendangnya sampai terbalik...”.
Maura
mengangguk sambil tersenyum, lalu bertepuk tangan. “Hatasaki hebat sekali!”.
Hatasaki
mengangguk, lalu menggaruk pelan kepalanya yang tidak gatal. “Terima kasih. Saya
selalu senang browsing sebelum travelling. Belajar dan dapat ilmu. Juga
foto.”, Hatasaki mengacungkan kameranya. “Travelling
juga adalah obat hati sakit saya.”.
“Loh,
Hatasaki sedang hati sakit?”, Maura terperangah.
“Tidak.
Sudah sembuh.”, Hatasaki tersenyum sambil menepuk-nepuk bagian kiri dadanya
dengan tangannya. “Apa yang Maura lakukan kalau hati sakit?”.
“Sama
Hatasaki, travelling itu obat hati
sakit saya.”, Maura tersenyum. “Tapi travelling
juga yang buat hati sakit.”, suara Maura berubah pelan.
***
31
Desember 2011, 11:45
Namanya Panca Indra. Sudah enam
bulan aku mengenalnya. Enam bulan yang mengesankan. Enam bulan yang penuh
dengan petualangan baru yang belum pernah aku alami. Dari Panca aku mengenal
hidup adalah petualangan. Dari Panca aku mengenal hidup adalah sebuah
perjalanan, bukan diam di tempat. Enam bulan yang berkesan, dipenuhi
warna-warni kehidupan yang begitu hidup. Beberapa gunung yang telah ditaklukan,
beragam pasir pantai yang telah dipijak. Semuanya bersama Panca. Panca si
lelaki bebas. Kulitnya yang sehat kecoklatan terbakar matahari, rambutnya yang
ikal tapi halus dibiarkannya sedikit gondrong,
badannya yang tinggi kurus. Kaus oblong, celana pendek, sendal gunung dan
sebuah carrier yang selalu setia menempel di punggungnya.
Setelah resmi menambah gelar di
belakang nama kami berdua, Panca berjanji mengajakku melihat kehidupan. Bukan
yang manis seperti princess yang duduk manis di istana, tapi katanya yang akan
terus terputar di kepalaku dan membuat hatiku berdebar selalu. Jauh lebih manis
dibanding cerita princess manapun.
Enam bulan perjalanan itu berpuncak
disini. Rinjani. Setelah sebelumnya berjalan kaki tanpa alas kaki menikmati
pasir pantai di Lombok. Panca bilang inilah kehidupan, kita menapakinya dari
permukaan yang paling bawah untuk akhirnya mencapai puncak.
“Kamu tahu Maura, Rinjani ini
adalah puncak tertinggi kedua di Indonesia.”, bisik Panca di telinga Maura.
Maura mengangguk pelan. Maura tahu
karena sebelumnya telah melakukan browsing tentang Rinjani yang kini dipijaknya
dengan Panca. Menatap kilau langit malam tanah Lombok. Hidungnya terasa dingin,
serupa asap keluar dari mulutnya. Jaket tebal dan dekapan Panca menjaga tubuhnya
tetap hangat.
“Dan puncak tertinggi pertama yang
ingin aku singgahi di awal tahun ini adalah.. Hati kamu Maura..”.
Pipi Maura terasa hangat, rasanya
pipinya memerah. Rasa dingin yang menerpa tiba-tiba menghilang. Bibir merah
mudanya menyunggingkan senyum.
“Bolehkah aku singgah dan tinggal
selamanya di puncak tertinggi itu, Maura?”. Maura mengangguk. Terasa hangatnya
nafas Panca menggelitik ruang diantara rambutnya, Maura merasakan Panca
mengecup kepalanya.
***
‘Dimana
kamu Panca?’.
Maura
membuka matanya dan menatap langit-langit kamar. Matanya kemudian berputar mengitari
kamar. Maura masih di pavillion-nya. Matanya
tertuju pada gorden berwarna biru muda yang terlihat begitu terang berusaha
menutupi semburat cahaya matahari. Maura memejamkan matanya lagi sesaat, hari
ini adalah hari bebas pada itinerary,
termasuk bebas tugas sebagai guide tour
baginya. Turis-turis mendapatkan kesempatan untuk bebas memilih ingin pergi
kemana, fasilitas mobil dari guest house
siap mengantar mereka berkeliling Bandung.
Sebelah
tangannya mencari-cari sesuatu di atas nakas yang berada di samping kanan
tempat tidurnya. Maura menemukan ponselnya, matanya kembali terbuka untuk
mengecek beberapa pesan yang muncul.
Pengirim:
Hatasaki
Mau
jalan-jalan?
Rambut
ikal Maura dibiarkan tergerai, menjuntai melewati bahunya. Blus motif abstrak
dengan tone warna merah bata membalut
wajahnya, tidak lupa sebuah coat berwarna hitam yang menutupi hampir seluruh
badannya dan syal rajut melingkar di lehernya. Bandung sedang berada dalam suhu
yang cukup dingin bagi Maura.
Maura
melangkah menuruni tangga dan mendapati Hatasaki berdiri di samping sebuah SUV
hitam dengan supir yang telah siap menunggu di dalamnya. Hatasaki dengan turtleneck rajut berwarna hitam yang
begitu kontras dengan warna kulitnya, rambutnya yang berwarna burgundi berkilau
ditimpa cahaya matahari.
Hatasaki
membukakan pintu mobil untuk Maura, lalu kemudian ikut masuk ke dalam mobil dan
duduk di sebelah Maura.
“Mau
kemana kita Hatasaki?”.
“Mengobati
hati sakit. Hari ini Maura jadi turis, saya jadi guide ya.”, Hatasaki tersenyum, sambil menatap Maura. Maura
membalasnya dengan sebuah anggukkan.
Mobil
mulai berjalan keluar dari pelataran guest
house. Mobil melewati jalanan yang berkelok-kelok dengan pemandangan
pepohonan yang sudah jarang, tergantikan dengan berbagai bangunan yang memiliki
arsitektur yang unik. Beberapa label guest
house dan restoran tertera pada bagian depan bangunan-bangunan tersebut.
Jalan semakin menurun dan mulai memasuki jalan raya, dimana kendaraan lebih
banyak terlihat. Rona semi-metropolitan dari kota Bandung mulai terlihat, meski
mungkin tidak seperti Jakarta dimana gedung-gedung pencakar langit jadi
pemandangan, tapi keramaian jalanan seperti menarik Maura pada kenyataan
setelah sebelumnya terperangkap suasana sepi di area guest house maupun tempat
wisata yang meski ramai orang, tetap damai dalam suasana liburan tanpa
terburu-buru.
Mobil
melewati kolong jalan layang Pasupati, terus meluncur lalu berhenti di dekat
sebuah tempat yang mirip alun-alun. Di samping tempat tersebut banyak terdapat
gerobak penjual makanan.
“Ayo
kita sarapan dulu Maura.”, Hatasaki turun dari mobil, Maura mengikutinya.
Hatasaki
langsung menghampiri salah satu gerobak yang menjual serabi. “Maura mau makan
apa, kah?”, Hatasaki menoleh ke arah
Maura. “Sama saja dengan Hatasaki.”, Maura tersenyum.
“Serabi
oncom itu enak. Saya suka sekali rasanya. Oishii..”,
di sela-sela menikmati serabi, Hatasaki nyeletuk. “Nanti kita ke museum ya, Maura.”,
Hatasaki mengerling ke arah sebuah bangunan yang tidak jauh dari tempatnya.
Maura
mengerutkan keningnya, menahan senyum tapi tetap mengangguk seraya mengunyah
makanannya.
***
Museum Geologi Bandung.
Maura ingat pertama dan terakhir kalinya dia menginjakkan kaki di museum itu
adalah ketika dirinya masih mengenakan seragam putih merah. Rambutnya yang dulu
masih pendek berkibar-kibar ketika memasuki gerbang museum. Dulu, rasa penasarannya
akan museum itu adalah keinginannya untuk melihat rangka T-Rex secara langsung, mengukur seberapa tinggi T-Rex yang
dilihatnya di film Jurassic Park yang
berulang kali ditontonnya dengan papa. Entah dengan sekarang, dia hanya menurut
ketika Hatasaki membawanya masuk ke dalam museum.
Setelah
mengambil booklet museum, Maura dan
Hatasaki mulai berkeliling. Melihat-lihat berbagai koleksi museum. Patung-patung
dan benda-benda bersejarah yang tersimpan apik di dalam kotak-kotak kaca. Aneka
diorama yang mengingatkan Maura pada film Night
at Museum, ‘Akankah mereka hidup
ketika malam?’ Maura membisikkan imajinasinya kepada Hatasaki, lalu mereka
tertawa berdua. Selesai mengelilingi museum, mereka berjalan beriringan hendak
keluar dari museum.
“Kamu
tahu Maura, kenapa ada museum?”.
“Untuk
menyimpan benda bersejarah?”.
Hatasaki
menggeleng. “Untuk kembali melihat masa lalu, belajar dan mengobati rasa sakit
untuk bersiap menghadapi masa depan.”. Maura menghentikan langkahnya dan
menatap Hatasaki.
***
“Saya
mau yoghurt special leci. Hatasaki
mau apa?”, Maura menuliskan pesanannya pada sebuah kertas buram berukuran
kecil.
“Saya
yang strawberry yah Maura.”.
Maura
mengangguk lalu menuliskannya, setelah memberikan pesanannya, pelayan tersebut
memberikan sebuah nomer. Maura dan Hatasaki keluar dari bangunan utama Yoghurt Cisangkuy lalu memilih untuk
duduk di luar, pada sebuah meja bundar dengan ditutupi payung besar. Udara yang
begitu segar dengan pemandangan pepohonan sayang sekali kalau harus dilewatkan.
Sambil menunggu pesanan Maura dan Hatasaki banyak bertukar cerita soal
pekerjaan mereka.
“Sebenarnya,
saya sengaja jadi guide tour.
Berharap dalam salah satu perjalanan yang ada, saya bisa bertemu kembali dengan
Panca.”. Maura menghela nafas. “Hampir dua tahun menjadi guide tour dan semua pencarian itu nihil. Terlalu bodoh.”.
Seorang
pelayan dengan nampan berisikan dua gelas datang. Pelayan tersebut kemudian
menaruh gelas berisikan yoghurt yang terlihat begitu segar dengan bintik-bintik
air di permukaan gelasnya. Hatasaki mengambil gelas dengan warna merah mencolok
di dalamnya, buah strawberry segar
dan sirup berwarna merah di dasar gelas. Tangannya kemudian mengaduk yoghurt, yang berubah menjadi warna
merah muda.
“Maura
tahu tidak apa persamaan yoghurt
dengan hati sakit?”.
Maura
mengerutkan keningnya lalu menggeleng.
“Yoghurt
itu asam, sedikit menakutkan mendengar cara pembuatannya oleh bakteri. Tapi
yoghurt bisa dinikmati dengan enak dan memiliki manfaat baik untuk sehat. Hati
sakit juga begitu, rasanya perih, tidak enak. Tapi kalau dinikmati, pasti
sembuh dan tidak sakit lagi.”.
***
Artspace?
Maura mengerutkan keningnya. Darimana Hatasaki tahu ada artspace di tempat nyempil seperti ini? Maura turun dari mobil
melihat sekeliling. Matahari mulai tidak terlalu terik, tapi tetap menyilaukan,
udaranya sedikit aneh, panas tapi dingin sehingga Maura memutuskan untuk
meninggalkan mantelnya di dalam mobil.
Maura
memperhatikan sekitar dari tempat mobil di parkir. Sebuah bangunan utama dengan
kaca di sekujur bangunan. Halaman yang dibuat taman dengan patung disana-sini,
patung besi dan patung kayu dengan bentuk abstrak penuh makna.
Hatasaki
merangkul Maura dan mengajaknya masuk ke dalam bangunan utama. Mereka masuk ke
dalam ruangan dengan aneka foto dengan gambar-gambar yang menurut Maura aneh. Melihat-lihat
seisi ruangan berbagai karya seni yang dipajang, merasa clueless. Dalam hati Maura hanya berkata itu semua bagus, Maura
tidak bisa mencerna setiap detail dari karya seni yang dilihatnya. Jangankan
mencerna, mengetahui jenis aliran karya seni tersebut apa, maura tidak tahu.
“Artwork itu seperti perasaan. Hanya yang
membuatnya yang tahu apa maknanya.”.
Maura
hanya mengangguk. Hatasaki membawanya keluar dari ruangan tersebut, menaiki
sebuah tangga ke lantai dua. Sebuah restoran dengan dipenuhi cahaya matahari.
Hatasaki membawa Maura ke bagian balkon restoran dengan kursi-kursi besi dan
meja bundar. Mereka berdua duduk di salah satu meja, kemudian seorang pelayan
menghampiri. Mereka berdua mulai memesan makanan.
“Hanya
nggak paham kenapa Panca meninggalkan saya tanpa alasan. Pergi tanpa kabar sama
sekali. Apa yang salah?”.
“Hanya
Panca yang tahu Maura. Sama seperti melihat artwork
tadi, hanya pembuatnya yang tahu maknanya. Kita cukup menikmatinya, boleh jadi
menerkanya, tapi tidak boleh terlalu larut di dalamnya. Larut di dalam tidak
mengerti. Membuang waktu, melepaskan apa yang seharusnya kita mengerti dan
dapat kita nikmati. Kamu punya banyak perjalanan indah yang seharusnya kamu
nikmati Maura. Kamu telah rugi dua tahun.”.
“Hatasaki...”.
Hatasaki
kemudian bangkit dari kursinya, tangannya menarik pelan tangan Maura. Membawa
Maura ke sisi lain bangunan. Mereka berdua berdiri di pintu yang menyambung
kepada sebuah jembatan kayu. Maura mengenali jembatan itu sebagai dermaga
langit Lawang Wangi Artspace, dari foto
yang di-share pada social media temannya. Hatasaki membawa Maura
meniti jembatan tersebut sampai berada di ujung jembatan yang berukuran lebih
lebar. Semburat cahaya matahari sore membuat pemandangan pepohonan di sekitar
artspace semakin indah. Hatasaki membawa Maura ke salah satu sudut jembatan
yang menghadap ke hamparan pemandangan pepohonan dan bangunan yang lebih
rendah.
“Maura,
Bandung adalah dataran rendah yang dikelilingi pegunungan. Anggap saja ini
titik paling rendah, titik awal dimana kamu akan memulai kembali.”, Hatasaki
memegang bahu Maura dan meremasnya pelan. “Selamat datang di kehidupan yang
baru, Maura. Selamat, hati sakit kamu sudah sembuh.”, Hatasaki tersenyum. Mata
Maura berbinar, tersenyum dengan hati berdebar melihat matahari yang mulai
tenggelam. Maura berbalik lalu langsung memeluk Hatasaki dan berbisik. “Terima kasih Hatasaki.”.