Wednesday, October 31, 2012

Stronger and stronger..



Hey kamu tahu
Perasaan ini begitu kuat
Semakin kuat malah
Begitu menyenangkan
Bahagia, gembira, sukacita, rasanya kata-kata satu kamus sulit untuk menggambarkannya
Mungkin pernah ada rasa marah, ada rasa tidak suka, ada rasa benci, ada rasa kesal
Tapi sungguh, perasaan itu semakin kuat dari hari ke hari
Mereka mungkin bertanya, apakah bosan?
Aku tidak bosan
Setiap saat duniaku serasa jungkir balik denganmu
Rasanya selalu ada yang baru
Bumi sama yang dipijak
Musim yang sama
Kamu yang sama
Tapi sejumlah warna yang selalu berbeda yang mengisi semuanya
Hei.. Aku bahagia dengan kamu
Aku senang bisa sama kamu
Entah emoticon mana yang paling tepat
Untuk menggambarkan perasaan ini
Perasaan yang selalu menghadirkan debaran ketika bersama kamu

Teruntuk kamu yang tadi mengantarku ke lab, menemaniku makan siang, menemaniku belanja di supermarket, menemaniku makan es krim, dan mengantarku pulang –dengan masih berpakaian formal kemeja lengan panjang, pantalon hitam, pantofel (aku suka sekali kamu pakai itu semua! Meski kamu kegerahan, kamu tampan tahu..)-.
Aku terlalu bingung mengurai kata untuk menggambarkan perasaan yang stronger and stronger –dari hari ke hari- ini.. Tapi aku sedang ingin menulis.. :p

30 October 2012
Galuh Fajriyah Galura

Last Slice of Red Velvet


 ‘What a hectic day! Hari rabu, sore hari, dan penuh sekali... Dan rasanya nggak ada secuil pun waktu tersisa untuk daydreaming! Anyway where’s Orca?’
“Mbak Marsha, maaf ini Red Velvet nya buat meja 27..”, suara Ririn membuyarkan lamunan Marsha. Kini di hadapan Marsha hadir satu slice Red Velvet cake teronggok manis diatas piring kecil, sedangkan sosok mungil Ririn sudah hilang entah kemana lagi.
“Oke..”, sedikit menghela nafas kemudian Marsha mengambil nampan kotak berwarna silver. Meja 27 terletak di lantai dua, dekat sekali dengan jendela kecil yang menghadap ke jalanan. Letaknya yang berada di lantai dua membuat Marsha harus mengeluarkan effort lebih untuk mengantar satu slice Red Velvet. Seorang laki-laki dengan rambut rapi, berbalut kemeja garis-garis putih abu tengah memandangi jendela dengan begitu seriusnya.
“Sore Sir.. Your Red Velvet.. Silakaaan..”, suara Marsha yang cempreng dengan logat ceria sukses menarik perhatian satu lantai. Pria tersebut kemudian menoleh. “Terima kasih..”, senyumnya menyungging sempurna di bibirnya, menghiasi rahangnya yang begitu tegas. Marsha sedikit tersentak kaget melihat pria yang begitu pria di hadapannya. Tidak ingin ketahuan sedang terpukau pada makhluk di depannya ini, Marsha kembali tersenyum “Selamat menikmatiii!”, suara riang Marsha kembali melengking ke seisi ruangan.
“Sorry ya Sha, gue telat.. My Baby mogok.. Sorrrryyyyyyy....”, seorang pria yang baru saja masuk langsung menghambur ke arah Marsha yang duduk sambil menopang dagu di dekat kasir.
“Heh paus Orca! Telat 2 jam lo ya.. Hampir mati tau gue tadi, pelanggan banyak banget.. Encok nih gue naik turun tangga kesana kemari nganter-nganter pesenan.”.
Pria yang dipanggil Orca itu pun nyengir kemudian mencolek dagu Marsha. “Dear my lovely cousin, gue teraktir deh lo mau apa aja..”. “Seriously???”, Marsha langsung menegakkan posisi duduknya. “Hmm.. Dengan berat hati.. Yess.. But wait.. anywaaay bukannya memang harusnya begitu yah? Tugas asisten manager.. Yah gantiin gue si manager.. Is that right??”. “Ah gamau tau.. Pokoknya lo berdosa sekali kali ini Orca.. Gue mungkin bakalan lebih bete lagi dari ini kalo nggak ada kejadian tadi sore Orca..”. “Kenapa emang??”, Orca mengambil gelas iced mint tea Marsha kemudian menyeruputnya. “Well.. I met this guy.. Kind of perfectly handsome guy..”.

“Oke.. Gue balik ya Orca.. Bye..”, Marsha mengambil tote bag nya dari meja kemudian mencium pipi Orca. Marsha keluar dari manager room kemudian berpamitan kepada beberapa pegawai. Terdengar denting wind chime yang terpasang di pintu depan diringi welcoming greet dengan suara khas Dodi, “Selamat datang di Sugar! Oh meja 27 yah pak? Silakan..”. Marsha sedikit tertegun mendengar Dodi sampai hafal dengan customer yang satu itu. Mata Marsha langsung melirik ke arah customer yang dipersilakan oleh Dodi tersebut. Mata Masrha membelalak mengetahui customer yang diperhatikannya. ‘That yuuum guy!’, Marsha setengah menjerit dalam hati.
“Eh Dod, customer yang kemaren itu siapa? Kok kaya udah kenal gitu?”, Marsha kemudian menyeruput lime juice nya. Dodi menghentikan kegiatannya mengelap meja kemudian menoleh ke arah Marsha. “Yang mana Mbak Marsha?”. “Mm.. Itu yang kamu bilang di meja 27 itu.. Emang udah langganan banget yah?”. “Oh itu.. Iya Mbak..”. “Kamu tau namanya?”. “Nggak Mbak.. Saya Cuma hafal mukanya, dan beliau pasti dateng setiap hari rabu jam 5 sore kesini. Dan pesenannya selalu Red Velvet dan iced mint tea..”. “Oh gitu..”. “Kenapa emang Mbak?”. “Nggak apa-apa, penasaran aja.. Lanjutin aja kerjanya.. Thanks ya Dod..”, Marsha nyengir, Dodi membalasnya dengan sebuah anggukan kemudian dia pun kembali sibuk mengelap meja.

Hari itu hari rabu. Marsha sengaja mengulur-ulur waktunya pulang, meskipun Orca sudah tiba. Marsha sengaja tidak langsung membereskan barang-barangnya di manager room. Marsha ke kamar mandi kemudian sibuk merapikan penampilannya diakhiri dengan memulaskan pink lipgloss ke bibirnya. Selesai ritual touch up di kamar mandi, Marsha kemudian langsung duduk manis di meja dekat kasir. ‘Rabu sore yang agak lengang’, pikir Marsha. Marsha duduk menopang dagu sambil melirik ke arah pintu masuk. Marsha kemudian menatap jam dinding sambil mengetuk-ngetukan kuku-kuku jari tangannya yang panjang -yang baru saja Marsha cat dengan warna baby pink- ke meja.
Huuff.. Masih 16.45.. Wish he comes earlier.. Or please time tick tack bit faster..’, Marsha menghela nafas mengapa waktu berjalan begitu lambat? Marsha mulai berimajinasi mengenai pria itu. Mencoba mengingat badannya yang tegap, garis wajahnya yang tegas tapi meninggalkan kesan teduh dimata orang yang melihatnya –berefek besar pada Marsha-, rambut hitamnya yang halus dan terpangkas rapi, dan.. Kira-kira pakaian maskulin apa yang akan dikenakannya hari ini? ‘Perfect! Sebuah kardigan berwarna Khaki membungkus kemeja krem dengan dasi hitam. Tidak lupa sebuah trousers warna hitam. Completed by that smile..’.
Sebuah welcoming greet dengan nada cempreng membuyarkan lamunan Marsha, “Selamat sore.. Selamat datang di Sugar! Seperti biasa ya, Pak? Silakan..”. Marsha membelalak kaget melihat pria yang baru saja hadir di imajinasinya ternyata adalah nyata, melewati kasir berjalan mengikuti Anya.
                Marsha menunggu-nunggu kehadiran Anya. Beberapa kali Marsha melirik ke arah tangga dengan sedikit gusar.  Anya akhirnya terlihat menuruni tangga kemudian bergerak ke arah showcase chiller yang memajang berbagai cake. Dengan cekatan Anya mengeluarkan cake Red Velvet, mengirisnya dan menyajikan satu slice di sebuah piring kecil. “Anya..”, Marsha memanggil Anya dengan suara super pelan. Anya mendongak, menaruh satu slice Red Velvet di nampan kemudian berjalan ke arah Marsha. “Loh, Mbak Marsha belom pulang? Ada apa Mbak?”. “Mmm.. Belom.. Sini gue yang anter Red Velvet nya..”. “Loh kenapa Mbak? Ini kan tugas saya?”. “Udaah nggak apa-apa.. Sekali-kaliii...”, Marsha nyengir. “Eh jangan Mbak, nanti saya dimarahin Mas Orca..”. “Nggak akan Anyaaa.. Sini aku bawain..”, sekejap saja nampan silver sudah berada di tangan Marsha. “Mbak, minumnya menyusul ya..”, Marsha mengangguk kemudian berjalan ke arah tangga. “Eh Mbak, meja 27..”, Anya berbicara tapi Marsha sudah keburu lenyap.
“Satu slice Red Velvet Cake.. Silakan..”, seperti biasa suara riang Marsha mengiringi tangannya yang menyajikan piring cake di meja. Marsha tersenyum, senang sekaligus grogi, pria itu menatapnya dan tersenyum!
“Thanks.. Anyway, wajah kamu rasanya begitu familiar ya? Have we ever met before?”.
Marsha seperti tersengat listrik ketika serentetan kalimat keluar dari mulut pria itu.
“Hmm.. Anda sering ke Sugar! bukan? Pasti familiar, saya asisten manager disini..”.
‘Wajahmu juga begitu familiar handsome.. Mmm.. Actually, Marsha selalu familiar dengan pria berwajah tampan..’.
No.. Mm.. I guess we went to same school.. Mm.. Washington Alley International School, right?
Bayangan Marsha kembali ke masa SMA nya, masa-masa high school dengan tartan mini skirt, over knee socks, white shirt dan nggak lupa aneka statement fashion item a la remaja. Lima tahun sudah Marsha habiskan masa remajanya di Washington Alley dengan remaja lainnya dari berbagai negara.
“Yes.. I graduated from WA.. Tapi aku nggak inget kamu loh.. Kita pernah sekelas?”, dahi Marsha berkerut mencoba mengingat seluruh teman sekolahnya.
“Unfortunately no.. Aku pernah lihat kamu waktu annual culture performance.. We had a recital for Indonesian perform.. And.. If I didn’t wrong.. You did that Sundanese dance alone..”.
Bayangan Marsha kembali lagi ke saat itu, saat dirinya menari solo menjadi puncak dari perform perwakilan Indonesia di Washington Alley.
“Ohhh.. Iya betul! Rasanya aku mau nangis darah kalau inget gimana latihan di KBRI waktu itu.. Tapi aku masih belum bisa inget kamu..”, Marsha menggigit bagian bawah bibirnya.
Pria itu kemudian tertawa pelan. “But you did great! Really great! Kita memang belum pernah resmi berkenalan. Lagipula, I’m older than you.. Two years above.. Maharli David..”, Pria itu mengasongkan tangannya ke arah Marsha.
“Maharani Sarasti.. Aka Marsha..”, Marsha menyambut tangan tersebut sambil tersenyum manis.
“Permisi, iced mint tea nya Pak?” Dodi menyela moment indah yang tengah dinikmati Marsha, ingin rasanya Marsha nimpuk Dodi dengan nampan yang ada di tangannya.
Thank you..”, pria itu tersenyum ke arah Dodi yang kemudian meninggalkan mereka berdua lagi. “Just call me Harli.. Anyway, did I disturb you?”, Harli kembali menoleh ke arah Marsha.
No.. Office hours aku udah selesai sebenarnya..”.
Maybe if you don’t mind to sit here, accompany me while do our nostalgia time..”.
Sure! Rasanya senang bisa ketemu teman satu almamater disini..”.
Mereka berdua pun larut dalam nostalgia kenangan sekolah.        

“Why you always come to Sugar! ? Setiap rabu sore dan selalu pesan Red Velvet dengan iced mint tea??”
“What’s this about? Customer’s satisfaction quiz? Red Velvet cake was someone’s favorite, iced mint tea to keep my mouth balance. Why Wednesday? I guess it’s the perfect day to enjoy ourself, afternoon after my office hours. And why Sugar! , this in the only place i found that served the best Red Velvet that has similar taste with Castle Cake my favorit place..”
“We’re so flattered to hear that.. Dan kenapa meja ini?”
“I love to see the sunset.. The window perfectly framed that beautiful landscape.. When the sky got red.. Then the sun hides..”

Kini hari rabu menjadi hari favorit Marsha. Marsha rela Orca datang telat setiap hari rabu, asalkan Marsha bisa bertemu pujaan hatinya, Maharli David. Berbagai obrolan seru selalu muncul ketika bersama Harli. Seru selalu!  
“Did you notice that we have lots similarity?”
“Mmm.. Begitu?”
“Even our names has almost similar first.. Mahar in Maharli and Maharani..”
“Oh iyaa.. Nama kamu unik yah Harli.. Maharli David..”
“My grandpa loves Harley Davidson motorcycle.. So it’s me.. Maharli David.”
“Kewl! Kakek kamu keren sekali... 23 years of my life, I don’t know what is Maharani Sarasti..”
“It means beautiful sunshine..”
“Beneran??”
“I think so.. Maybe..”
“Uuugh.. Harli.. Aku boleh minta sesuatu?”
“So tell me, please..”
“Kamu sedang di Indonesia dan kamu seorang Indonesian.. Jadi tolong.. Perbanyak berbicara bahasa disini.. Please..” ‘You know what, you really hot while speak in Bahasa’
“Baiklah.. Maharani Sarasti..”

Sudah empat hari rabu Marsha selalu habiskan dengan mengobrol dengan Harli. Rasanya Marsha sudah mengenal Harli begitu dalam. Harli, pria yang nggak cuma tampan diluar, tapi benar-benar tampan di dalam. Charming menurut Marsha. Harli begitu mempesona Marsha, meski pertemuan itu terjadi hanya setiap hari rabu dan baru empat kali. Marsha senang mengobrol dengan Harli. Rasanya nyaman sekali. Semua kata-kata dari Harli begitu alami, tidak ada kesan dibuat-buat, tapi justru itu yang menarik bagi Marsha. Harli yang begitu sopan, begitu seksi di mata Marsha.
Sist.. Lo crazy in love yah?”, Orca mengagetkan Marsha yang tengah melayang entah kemana.
“Mmm.. Dia itu sexy sekali Orca.. Always fly me so high..”, Marsha mengeluarkan ekspresi  berlebihan dengan menggerakan tangannya seolah terbang.
“Hati-hati loh Sist.. Terbang terlalu tinggi itu bakalan sakit luar biasa kalau jatuh..”.
“Orca.. Aku sendiri juga bingung sama perasaanku itu apa sih sebenernya.. Tapi aku menikmatinya.. Dan lo mestinya bersyukur, gue jadi begitu semakin semangat bergembira bekerja di Sugar!”.
“Gue tau lo kaya gimana kok.. Pasti cuma selewat.. You won’t take it serious..”.
We’ll see..”, Marsha mengembangkan senyum lebar.

Rabu lainnya...
“Buatku??”, Marsha berusaha menahan diri untuk tidak terlihat over excited memandangi buket bunga white lily yang kini dipeluknya.
“Iya.. Aku bingung apa bunga favoritmu Marsha..”.
“Aku suka lily.. Mama juga.. Wahh.. Terima kasih banyak ya Harli..”
“Sama-sama.. Aku senang kalau kamu suka bunganya.”.
“Dalam rangka apa kamu ngasih bunga?”
“Marsha.. Bolehkah aku mengajak kamu kencan sabtu besok??”
‘What?! Kencan?? KENCAN??????’, kali ini Marsha benar-benar tidak bisa menyembunyikan pipinya yang sudah terlanjur bersemu merah.
“Tentu Harli..”.

Perfect Saturday.. ‘Oh finally it’s not always Wednesday’. I guess it’s a sign! A SIGN! When always-Wednesday turn into A SATURDAY. Even it’s only go to cinema and have a dinner. Everything went perfectly romantic!
“Harli.. Kamu memang unik yah.. Nama kamu unik.. Dan yang paling unik, kamu pria yang suka cake.. Bahkan suka menikmati cake di cake shop seorang diri!”
“Hahaha.. Apa terlalu aneh? Atau mungkin terkesan mengerikan?”
Marsha menggeleng pelan. “Enggak sama sekali.. Itu mengesankan..”.
“Ya.. Dan aku bisa ketemu kamu Marsha..”.
“Bisa jadi.. Tadinya malah aku berdoa supaya cepat-cepat dapat pekerjaan lain supaya bisa lepas dari Sugar!, dimana mayoritas customer para wanita.. Sekalinya ada pria, eh malah bawa gandengan.. Hmm.. Kapan aku dapet jodohnya kalau begitu?”.
“Gandengan?”.
“Pasangan maksudnya..”.
“Oh.. Mungkin kita berjodoh..”, Harli tersenyum.
Marsha tersipu mendengar perkataan Harli.
“Kamu percaya takdir Marsha?”.
“Aku percaya.. Seperti kita ditakdirkan bertemu rabu itu.. Seperti kamu yang begitu jatuh cinta dengan Red Velvet Sugar! sampai akhirnya kita bisa ada disini.”.
“Ya Marsha.. Red Velvet Sugar! begitu orisinil.. Seperti di US.. Bukan hanya cake berwarna merah dengan cream cheese, melainkan part coklat di Red Velvet itu yang bikin sempurna.”.
“Harli.. Seseorang itu siapa? Yang suka sekali dengan Red Velvet?”.
“...”.

Rabu setelah kencan di hari sabtu kemarin yang masih menyisakan misteri, membuat Marsha sedikit gusar. Harli tidak datang ke Sugar!. Padahal rabu itu Marsha sudah menyiapkan Red Velvet buatannya untuk dicicipi Harli. Akhirnya Red Velvet hasil uji coba Marsha di dapur Sugar! berakhir ke perut para pegawai. Semuanya memuji hasil buatan Marsha, tapi rasanya percuma bagi Marsha meskipun dipuji satu Sugar! tapi pujaan hatinya tidak mencicipinya. ‘Kenapa kamu nggak datang Harli.. Bodohnya Marsha, nggak punya kartu nama Harli.. Bahkan no hp Harli pun nggak ada.. Semoga kamu baik-baik saja..’
Rabu berikutnya, rabu berikutnya, dan rabu berikutnya. Sudah empat rabu Harli tidak datang ke Sugar!. Tiga rabu setelah Red Velvet yang terbuang percuma –menurut Marsha-, Marsha selalu menyisakan satu slice Red Velvet di Sugar!, berharap Harli datang meski mungkin terlambat, Marsha tetap menunggunya hingga akhirnya slice Red Velvet terakhir itu ia makan sendiri.
Rabu kelima. Marsha sudah benar-benar menyerah. Mungkin Orca benar, ini hanya cinta selewat. Tapi kali ini begitu berbekas bagi Marsha karena pria ini begitu unik dan memikat hatinya, berbeda dengan pria lain yang benar-benar hanya selewat bagi Marsha. Marsha memejamkan mata, menarik nafas secara perlahan. Kemudian Marsha membuka matanya dan mendapati satu slice Red Velvet di hadapannya. ‘Ini Red Velvet terakhir yang telah aku sisakan setiap rabu untuk kamu Harli.. Good bye Harli..’, Marsha mulai menyendoki Red Velvet sambil bekerja di depan laptopnya. Membaca beberapa email yang masuk dan hampir tersedak melihat sebuah email yang begitu mengejutkan.

From: Maharli David
To: Maharani Sarasti
Subject: Slice of Red Velvet

Dear Marsha,
Maaf aku menghilang begitu saja tanpa kabar. Aku tahu kamu pasti begitu marah. Atau mungkin sudah lupa denganku?
Last time we met, rasanya aku terbangunkan dari suatu kenyataan.
Pertanyaanmu, siapa penyuka Red Velvet itu?
Dia adalah Julia, kekasihku. Julia yang manja, begitu melodrama, berbeda sekali dengan Marsha yang begitu cheerful. Julia selalu memintaku datang untuk tea time setiap rabu sore sambil menikmati pemandangan sunset. Dan teman minum teh yang selalu disajikannya adalah Red Velvet Cake buatannya sendiri. Rasanya persis dengan Castle Cake, persis dengan yang ada di Sugar!. Itu adalah jawaban lengkap dari pertanyaan yang pernah kamu tanyakan.
Julia juga gadis ceria, tapi hanya di depanku. Dan aku ingin jadi pria yang selalu membuatnya ceria. Julia begitu rapuh, sehingga aku ingin selalu melindunginya. Ingin selalu memeluknya begitu erat, supaya dia terus terlindungi. Aku tidak pernah mau melepaskan pelukan itu sampai saat itu. Sabtu itu ketika kamu membuatku sadar, Julia telah pergi. Hanya kenangan yang dua tahun terakhir ini aku peluk. Moreover, beberapa bulan kemarin aku menemukan Red Velvet yang persis di Sugar!, rasanya pelukan itu aku buat semakin erat.
Dua tahun lalu aku kembali ke Indonesia. Berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa Julia was gone forever. Bermain dengan kenangan and enjoy tea time alone with Red Velvet Cake. Pathetic? Ya, aku memang pria yang begitu menyedihkan.
Untuk pertemuan kita yang begitu menyenangkan, aku tidak akan meminta maaf kepadamu. Untuk segala keceriaan yang kamu bawa, aku juga tidak akan meminta maaf kepadamu. Kamu datang di waktu yang tepat, untuk menyadarkanku. Aku terlalu lama berpelukan dengan khayalanku. Kamu hadir seperti cahaya matahari yang setia menyinari, Maharani Sarasti, beautiful sunshine..
Kamu hadir bukan untuk mengisi kekosongan di tempat itu. Ketika kamu hadir, hati ini menyediakan serupa kastil baru untuk kamu mengisinya. Tentu hanya jika kamu mau Marsha.
Aku telah melepaskan semuanya disini.
I’ll be back soon.. Keep a slice of Red Velvet for me, please..

Harli

30 October 2012
Galuh Fajriyah Galura


  

  

Thursday, October 25, 2012

Could We Be...?



Could we be back as a normal friend?
Like we used to be?
Before chunky chocolate turned over our feelings
Before teddy bear became a sweet treat to be hugged every night
Before all those pink roses blossomed and turned into lovable bouquet
Miss all the time we spent
-         - Kaysilla

Secarik kertas post-it berwarna biru muda menyembul ketika Aqi membuka catatan kuliahnya. Aqi membaca setiap detail rangkaian huruf yang digoreskan dengan tinta berwarna pink. ‘Kaysilla..’ Aqi menutup bukunya kemudian celingukan, meniti seisi kelas tanpa menemukan apa yang dicarinya. Aqi memasukan buku catatannya ke dalam tas kemudian keluar dari kelas. Aqi mengelilingi seisi kampus mencari-cari. ‘Kaysilla, dimana kamu?’’.
Aqi kemudian duduk di bangku taman kampus. Matanya masih tetap mengedarkan pandangan. Berusaha menangkap sesosok bayangan. Mungkin seharusnya pencarian ini dilakukannya dulu sekali. Sebelum sebuah post-it tertempel dengan penuh misteri. Aqi menatap langit, masih begitu cerah, kemudian matanya tertuju ke arah atas gedung kampusnya. Aqi tersenyum, bangkit dari kursinya kemudian berlari menuju ke kampus.

Rooftop Kampus..
            Kaysilla menghela nafas, ‘Kaysilla bodoooh... Kenapa kaya bocah sih pake tempel-tempel post-it notes segala..’. Kaysilla menggerutu sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Duduk di salah satu bench di rooftop kampus adalah kegiatan favoritnya. Melamun sendiri begitu menyenangkan terlebih lagi ketika rooftop sepi dari kegiatan UKM kampus. Kaysilla sangat suka ketika angin memainkan helaian rambutnya. Menyenangkan hatinya ketika jengah dengan kampus dan isinya, pemandangan langit cerah dari rooftop kampus selalu membuatnya bahagia.
            Rooftop tempat favoritnya ini juga pernah menjadi tempat favorit seseorang. Seseorang yang pernah singgah di relung hatinya. Dulu sekali mungkin. Saat pikiran dewasa Kaysilla belum mengusik kebahagiaan itu.

            “Kaysilla..”. Suara berat yang dikenalinya, dengan pelan membisikan namanya. Semilir angin ikut berhembus menggelitik telinganya. Kaysilla pikir itu hanya sebuah fatamorgana, meski suaranya terdengar begitu jelas di telinganya.
            “Tentu Kaysilla.. Aku mau..”, serangkaian kalimat dengan suara yang sama mengiringi datangnya sesosok yang dikenalinya, yang kini duduk di sampingnya.
            Kaysilla menoleh, di sebelahnya duduk manis Pramudya Raqi. Laki-laki yang rasanya sudah jutaan menit tidak pernah memanggil namanya, apalagi berkalimat kepadanya.
            “Maaf aku membiarkan kamu terlalu lama, Silla..”, Aqi menyentuh tangan Kaysilla. Kaysilla menunduk.
            “Maaf Aqi, aku juga beranjak terlebih dulu. Padahal dulu aku yang minta kamu supaya kita berlari bersama, tidak meninggalkanku..”.
            Kaysilla tersenyum tapi masih sambil menundukkan kepalanya.
            “Kenapa pemikiran itu tidak muncul dari awal ya? Kenapa malah merusak segalanya? Ketika semuanya terlanjur tumbuh.. Saat kamu tiba-tiba menghilang, aku belajar untuk beranjak. Saat kamu tiba-tiba datang lagi, tinggal satu langkah aku benar-benar beranjak. Dan sekarang aku telah benar-benar beranjak, meski serpihan itu mungkin masih tersisa. Mungkin aku terlalu egois.. Aku nggak pernah mau merasakan patah hati. Saat itu aku tahu, cepat atau lambat, salah satu dari kita pasti akan beranjak dan meninggalkan. Aku nggak mau jadi yang ditinggalkan.”, suara Kaysilla sedikit bergetar.
            “Aku... Aku mengikuti kamu Silla.. Ketika kamu pergi aku selalu berpikir kamu memang sedang luar biasa bahagia dengan Dira.”, Aqi terdiam sebentar, pandangannya menerawang jauh. “Aku nggak mau jadi pengganggu ketika kamu sedang bahagia. Tapi aku selalu menunggu kamu.”.
            Sounds cliche.. Semuanya.. Kenapa dulu aku nggak berpikir bahwa aku juga perempuan. Sama seperti Vella.. Kenapa aku malah mengikuti ego sendiri tanpa memikirkan orang-orang yang pasti tersakiti...”, Kaysilla menghentikan kata-katanya, tenggorokannya tercekat sulit meneruskan kata-kata tersebut. Air matanya sudah tidak terbendung lagi, kepalanya masih menunduk. “Salah! Semuanya salah! Kenapa aku ketemu kamu Aqi.. Kenapa??!”, Kaysilla menoleh menatap lekat Aqi sambil masih bercucuran air mata.

            Aqi menyentuh pipi Kaysilla menghapus air mata yang membasahi. Aqi kemudian menarik Kaysilla ke dalam pelukannya. Mata Kaysilla membelalak kaget. Ini adalah sentuhan pertama Aqi. Selama ini Aqi tidak pernah menyentuh Kaysilla  –kecuali mencubit pipi Kaysilla-, apalagi memeluk Kaysilla seperti ini.
            “Nggak ada yang salah Little Silla.. Hanya waktu yang datang kurang tepat. Entah terlambat, entah terlalu cepat.. Saat aku dengan Vella, kamu dengan Dira. Perasaan dan saat-saat yang indah sama kamu, semuanya anugrah.. Nggak ada yang salah dengan itu semua.. Meskipun aku atau kamu memaksa untuk melupakan semuanya, semuanya akan tetap menjadi kenangan manis yang pasti akan terulang dalam memori kita.”. Aqi membelai rambut panjang Kaysilla. “Merasa bersalah dengan Vella dan Dira, pasti merasa bersalah juga dengan hati kita sendiri. Jauh lebih menyakitkan. Perasaan itu muncul tiba-tiba.. Mungkin perlahan bisa dihapus, tapi sulit ditahan.. Maafkan aku Little Silla, mungkin kalau aku bisa lebih menahan diri, semuanya tidak akan seperti ini.”.

            Keduanya terdiam. Rasanya berbagai memori indah Aqi-Kaysilla berputar lambat di keduanya. Saat Aqi dan Kaysilla berkenalan. Saat Aqi dan Kaysilla saling usil. Saat panggilan Little Silla muncul karena badan Kaysilla yang begitu mungil bila dibandingkan dengan Aqi. Saat Aqi merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Kaysilla. Saat Kaysilla merasakan perubahan Aqi, memang tetap usil but something’s hiding. Saat coklat dengan taburan cashew menjadi saksi bisu ungkapan perasaan keduanya. Saat indah hidden date Kaysilla-Aqi. Saat masing-masing berusaha menyembunyikan segalanya dari Vella dan Dira –yang untungnya di kampus dan lingkungan berbeda-. Saat pagi buta buket mawar pink dan sebuah teddy bear –kesukaan Kaysilla- mengiringi kedatangan Aqi. Saat dimana rasanya memang Aqi-Kaysilla, tidak ada Vella dan Dira. Saat semuanya mulai meragu dan hilang. Saat bayangan Aqi-Kaysilla pudar, Vella dan Dira mengisi kembali. Dan saat ini..

            “Aqi.. Aku terlalu lelah untuk bersembunyi. Aku juga jengah dihantui perasaan akan jadi yang menyakiti..”, Kaysilla melepaskan pelukan Aqi kemudian menatapnya. “Aku terlalu rapuh..”.
            Aqi tersenyum kemudian menyentuh pipi Kaysilla. “Aku berusaha lebih kuat darimu Little Silla.. I’m your guardian, and always be..”.
            “Aku mau semuanya normal. Seperti dulu. Aqi-Kaysilla yang usil. Tanpa perlu menjauh karena takut. Aku... Aku nggak mau jauh dari kamu lagi seperti waktu kemarin! Aku mau kita jadi teman.. Teman yang dekat.. Tanpa perlu khawatir ada yang tersakiti. Tanpa saling meninggalkan, karena teman tidak pernah meninggalkan.”, Kaysilla balas tersenyum.
            “Iya Little Silla.. Aku mau Aqi-Kaysilla tetap ada. Apapun bentuknya.. Aku juga nggak mau jauh dari kamu lagi..”.
            Thanks Aqi.”, Kaysilla tersenyum. “But first, kamu harus kenalin aku sama Vella.. Supaya dia nggak salah sangka. Aku juga bakalan ngenalin kamu sama Dira.”.
            “Iya Silla.. Tunggu saatnya.. Lalu apalagi?”.
            “Hmm... Kamu belum bayar hutang taruhan makan sushi!”.

            Senja mulai menyeringai. Sang mentari memerah hendak bersembunyi. Pemandangan sunset yang sayang kalau tidak dinikmati. Berdua. Aqi-Kaysilla terduduk di salah satu bench rooftop kampus, saling menyender dan tersenyum. Aqi-Kaysilla sudah kembali.

25 October 2012
Galuh Fajriyah Galura