Tuesday, December 31, 2013

Obat Hati Sakit


Obat Hati Sakit
Oleh. Galuh Fajriyah Galura

31 Desember 2013, 11:58 PM

Sudah seribu kali rasanya Maura menguap. Matanya mengerjap-ngerjap, menahan rasa perih mata yang terasa berair. Meski rasa lelah berdenyut-denyut di sekitar keningnya, begitu juga serupa beban menggelayut manja di lehernya, sambil memandang langit Maura mengurut sedikit bagian belakang lehernya. Secangkir kopi hitam yang baru saja diminumnya, sama sekali tidak terasa pengaruhnya.
Maura melirik jam tangan silver melingkar di tangannya, jarum panjang jam yang berkilau hampir bersatu dengan jarum pendek jam yang duduk menunjuk manis ke angka dua belas. Maura kemudian meluruskan kakinya, terasa rumput yang basah oleh embun menggelitik betisnya yang tidak tertutupi celana capri warna hijau muda sebatas lutut.
Maura menengadahkan kepalanya, menurunkan sedikit posisi badannya, dan bertumpu pada kedua tangannya di belakang tubuhnya. Tidak lama, terdengar suara berdengung diikuti dengan suara letupan dan warna-warni yang membuat rona di pekatnya langit. Inilah yang selalu Maura nantikan...kembang api. ‘Happy New Year, Panca..’, bisik Maura. Merah, kuning, hijau, ungu, membentuk bercak-bercak di langit yang memantul pada sepasang matanya yang ditahannya untuk tidak berkedip, tidak mau ketinggalan satu warna pun, meski udara dingin sedikit menggoyahkannya. Maura menggosok-gosokan kedua telapak tangannya lalu menempelkannya pada pipinya yang dingin. Suara letupan kembang api semakin menjadi-jadi, rona warna-warni semakin lincah beradu di langit pekat. Meski sudah dua puluh tahun lebih menikmati kembang api di pergantian tahun, mata Maura tetap berbinar menatap semburan bunga api yang berwarna-warni.
Suara langkah kaki mengalihkan pendengaran Maura dari gemuruh letupan kembang api. Maura melirik ke jalan setapak guest house yang berada lebih rendah dari pavillion-nya. Sesosok lelaki tinggi, dengan rambut dikucir. Tas kamera tersampir di bahunya. Maura tidak dapat melihat begitu jelas wajahnya, tapi dari perawakannya yang tinggi, Maura yakin lelaki itu adalah bukan orang Indonesia. Maura menyipitkan matanya, berusaha untuk dapat melihat lebih jelas. Bukannya mendapatkan pemandangan lebih jelas, Maura malah melihat lelaki tersebut tidak sengaja menjatuhkan sesuatu ketika sedang mengambil sesuatu dari tas yang menyampir di bahunya. Maura langsung bangkit dari tempatnya duduk. Maura buru-buru melangkah menuruni tangga pavillion-nya. Lelaki tersebut terlihat sudah melewati pavillion-nya dan semakin menjauh. “SIR!!!”, Maura setengah berteriak sambil berlari lebih cepat menuju ke tempat dimana lelaki tersebut menjatuhkan sesuatu.
Maura mendapati sebuah buku kecil, dibaliknya buku tersebut. ‘Passport.’. Maura memungutnya, kemudian berbalik mencari sosok lelaki tersebut. Maura mendapati lelaki tersebut berdiri agak jauh dengan kepalanya menoleh ke arah Maura. Maura menghela nafas, kemudian berlari menuju lelaki tersebut.
“Your... Pass.. port...”, ujar Maura terbata sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan setelah terpaksa melakukan sprint saat tenaganya hanya tersisa untuk berjalan ke tempat tidur.
“Oh.. Terima kasih.”, jari lentik dengan kulit seputih porselen menerima paspor yang diasongkan Maura. Maura mendongakkan kepalanya, keningnya berkerut mendengar kata-kata dalam bahasa Indonesia tapi dilafalkan dengan logat asing. Hidung mancung, bentuk wajah yang tajam, bibir tipis merah muda, sepasang alis yang melengkung tajam menaungi sepasang mata bulat tapi kecil. Semuanya terpatri halus di atas kulit wajah seputih porselen.
“Sama-sama.”, Maura berujar sambil masih meneliti setiap garis dari wajah yang mengingatkannya pada pajangan boneka jepang oleh-oleh dari tantenya. Maura lalu menganggukkan kepalanya hendak pamit.
“Tunggu.”, lagi-lagi kata dalam bahasa Indonesia dengan suara berat dan sedikit kaku, dilafalkan seperti sedang mengulum sesuatu. “Belum kenal.”, senyum mengembang di wajahnya lelaki tersebut.
“Ohh.. Ya. Maura.”, Maura tersenyum kemudian mengasongkan tangan kanannya.
“Hatasaki.”, lelaki tersebut membalas jabat tangan Maura.
“Eh?”, Maura mengerutkan keningnya.
“Hatasaki.”, lelaki tersebut mengulanginya. “Hati sakit.”.
“Hah?”, Maura menahan tawa.
“Hatasaki. Hati sakit, supaya mudah diingat.”.
“Ooohh..”, Maura tertawa. “Jangan. Hati sakit itu tidak enak, Hatasaki.”, Maura menggerakkan tangannya tanda tidak setuju.
Hatasaki menggaruk kepalanya pelan. “Ah ya..”, Hatasaki memasukkan passportnya ke saku tas kameranya, kemudian tangannya merogoh saku yang lainnya mengeluarkan sesuatu berwarna muda berukuran dua kali jari manisnya, lalu memberikannya kepada Maura. “Untuk hati sakit jadi enak.”.
Maura melihat tulisan berwana merah dengan alas putih tercetak diatas bungkusan berwarna merah muda, ditambah serangkaian huruf dalam bahasa jepang di bawahnya. Maura bisa merasakan wafer yang dibalut gula-gula coklat berada di dalam bungkus tersebut. “Terima kasih.”, Maura tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Maura baru menyadari deru kembang api yang meletup-letup sudah berakhir, malam kembali hening dan langit kembali kelam. “Saya pulang ya Hatasaki. Mau tidur.”, Maura memiringkan kepalanya sambil pura-pura bersandar pada kedua tangannya.
“Terima kasih. Sampai bertemu kembali.”.
“Sampai bertemu lagi.”.
***

Maura menyesap secangkir latte panas, menghirup dalam-dalam asap yang mengepulkan aroma kopi. Sweater turtleneck berwarna merah yang dikenakannya masih kecolongan dalam menghalau udara dingin Dago atas di pagi hari. Maura kembali menaruh cangkir kopinya, jemarinya mengelus permukaan cangkir yang hangat. Matanya bergerak naik turun melihat deretan tabel itinerary hari ini.
Jadwal setelah sarapan adalah mengantar para turis ke Rumah Bunga Rizal. Maura mengambil tab lalu mulai melakukan browsing. Beberapa gambar bunga anggrek berwarna-warni muncul di layar tab. Jari Maura memilih sebuah halaman blog yang muncul paling atas.
“Selamat pagi.”. Maura mengalihkan pandangan dari tab-nya dan mendapati Hatasaki dengan sweater berwarna maroon sambil membawa sebuah cangkir dengan asap mengepul.
“Halo, selamat pagi Hatasaki.”, Maura tersenyum.
“Boleh duduk sini?”, Hatasaki menunjuk kursi kosong di depan Maura.
“Boleh. Silakan duduk Hatasaki.”, Maura mengangguk lalu menaruh kembali tab-nya.
Hatasaki duduk lalu menyesap sedikit dari cangkirnya. “Maura sedang sibuk? Saya ganggu kah?”.
Maura menggeleng pelan. “Tidak kok. Saya sedang browsing.”.
Hatasaki melirik kertas itinerary, kemudian mengambilnya dan membacanya. “Ini schedule tur Maura hari ini? Banyak sekali.”.
Maura mengangguk. “Hatasaki hari ini pergi kemana di jadwal tur-nya?”.
“Saya belum tahu mau kemana.”.
“Loh memang guide tour-nya tidak membagikan jadwal?”, kening Maura berkerut.
“Saya pergi sendiri.”, Hatasaki tersenyum.
“Oh.. Saya pikir kamu ikut rombongan perjalanan.”, Maura tersenyum lalu tiba-tiba tangannya menepuk tangan Hatasaki. “Hei, kalau kamu belum tahu mau kemana, kamu ikut rombongan saya saja.”.
Kening Hatasaki berkerut, alisnya yang melengkung dan menukik indah bertaut di tengah. “Saya kan tidak daftar.”.
“Tenang aja Hatasaki, I’m the guide tour.”.
“Kamu guide tour?”, Hatasaki terperangah. “Saya kira kamu turis juga.”.
Maura mengangguk. “Iya, saya guide tour. Hatasaki berlibur sendiri ya? Berani sekali.”.
“Iya saya suka travelling. Saya sedang libur akhir tahun. Saya kerja di Jakarta.”.
“Saya juga suka travelling, kantor perusahaan saya juga di Jakarta, Hatasaki.”.
Guide tour itu adalah pekerjaan yang sughoi.. Keren!”.
***

Maura masih tidak percaya apa yang ada di hadapannya, seorang ekspatriat jepang berbicara dengan bahasa Indonesia yang lancar dibumbui logat jepang menceritakan legenda Gunung Tangkuban Parahu. Meski mungkin tata bahasa Hatasaki masih berantakan, Maura masih kagum dengan kemauan Hatasaki belajar bahasa Indonesia.
Hatasaki menceritakan legenda Sangkuriang yang pernah dibacanya saat berselancar di dunia maya. Pemandangan gunung mirip perahu terbalik yang diselimuti kabut terhampar di hadapan mereka berdua.
“Sangkuriang marah dan hati sakit, perahu ditendangnya sampai terbalik...”.
Maura mengangguk sambil tersenyum, lalu bertepuk tangan. “Hatasaki hebat sekali!”.
Hatasaki mengangguk, lalu menggaruk pelan kepalanya yang tidak gatal. “Terima kasih. Saya selalu senang browsing sebelum travelling. Belajar dan dapat ilmu. Juga foto.”, Hatasaki mengacungkan kameranya. “Travelling juga adalah obat hati sakit saya.”.
“Loh, Hatasaki sedang hati sakit?”, Maura terperangah.
“Tidak. Sudah sembuh.”, Hatasaki tersenyum sambil menepuk-nepuk bagian kiri dadanya dengan tangannya. “Apa yang Maura lakukan kalau hati sakit?”.
“Sama Hatasaki, travelling itu obat hati sakit saya.”, Maura tersenyum. “Tapi travelling juga yang buat hati sakit.”, suara Maura berubah pelan.
***

31 Desember 2011, 11:45
Namanya Panca Indra. Sudah enam bulan aku mengenalnya. Enam bulan yang mengesankan. Enam bulan yang penuh dengan petualangan baru yang belum pernah aku alami. Dari Panca aku mengenal hidup adalah petualangan. Dari Panca aku mengenal hidup adalah sebuah perjalanan, bukan diam di tempat. Enam bulan yang berkesan, dipenuhi warna-warni kehidupan yang begitu hidup. Beberapa gunung yang telah ditaklukan, beragam pasir pantai yang telah dipijak. Semuanya bersama Panca. Panca si lelaki bebas. Kulitnya yang sehat kecoklatan terbakar matahari, rambutnya yang ikal tapi halus dibiarkannya sedikit gondrong,  badannya yang tinggi kurus. Kaus oblong, celana pendek, sendal gunung dan sebuah carrier yang selalu setia menempel di punggungnya.
Setelah resmi menambah gelar di belakang nama kami berdua, Panca berjanji mengajakku melihat kehidupan. Bukan yang manis seperti princess yang duduk manis di istana, tapi katanya yang akan terus terputar di kepalaku dan membuat hatiku berdebar selalu. Jauh lebih manis dibanding cerita princess manapun.
Enam bulan perjalanan itu berpuncak disini. Rinjani. Setelah sebelumnya berjalan kaki tanpa alas kaki menikmati pasir pantai di Lombok. Panca bilang inilah kehidupan, kita menapakinya dari permukaan yang paling bawah untuk akhirnya mencapai puncak.
“Kamu tahu Maura, Rinjani ini adalah puncak tertinggi kedua di Indonesia.”, bisik Panca di telinga Maura.
Maura mengangguk pelan. Maura tahu karena sebelumnya telah melakukan browsing tentang Rinjani yang kini dipijaknya dengan Panca. Menatap kilau langit malam tanah Lombok. Hidungnya terasa dingin, serupa asap keluar dari mulutnya. Jaket tebal dan dekapan Panca menjaga tubuhnya tetap hangat.
“Dan puncak tertinggi pertama yang ingin aku singgahi di awal tahun ini adalah.. Hati kamu Maura..”.
Pipi Maura terasa hangat, rasanya pipinya memerah. Rasa dingin yang menerpa tiba-tiba menghilang. Bibir merah mudanya menyunggingkan senyum.
“Bolehkah aku singgah dan tinggal selamanya di puncak tertinggi itu, Maura?”. Maura mengangguk. Terasa hangatnya nafas Panca menggelitik ruang diantara rambutnya, Maura merasakan Panca mengecup kepalanya.
***

‘Dimana kamu Panca?’.
Maura membuka matanya dan menatap langit-langit kamar. Matanya kemudian berputar mengitari kamar. Maura masih di pavillion-nya. Matanya tertuju pada gorden berwarna biru muda yang terlihat begitu terang berusaha menutupi semburat cahaya matahari. Maura memejamkan matanya lagi sesaat, hari ini adalah hari bebas pada itinerary, termasuk bebas tugas sebagai guide tour baginya. Turis-turis mendapatkan kesempatan untuk bebas memilih ingin pergi kemana, fasilitas mobil dari guest house siap mengantar mereka berkeliling Bandung.
Sebelah tangannya mencari-cari sesuatu di atas nakas yang berada di samping kanan tempat tidurnya. Maura menemukan ponselnya, matanya kembali terbuka untuk mengecek beberapa pesan yang muncul.  

Pengirim: Hatasaki

Mau jalan-jalan?

Rambut ikal Maura dibiarkan tergerai, menjuntai melewati bahunya. Blus motif abstrak dengan tone warna merah bata membalut wajahnya, tidak lupa sebuah coat berwarna hitam yang menutupi hampir seluruh badannya dan syal rajut melingkar di lehernya. Bandung sedang berada dalam suhu yang cukup dingin bagi Maura.
Maura melangkah menuruni tangga dan mendapati Hatasaki berdiri di samping sebuah SUV hitam dengan supir yang telah siap menunggu di dalamnya. Hatasaki dengan turtleneck rajut berwarna hitam yang begitu kontras dengan warna kulitnya, rambutnya yang berwarna burgundi berkilau ditimpa cahaya matahari.
Hatasaki membukakan pintu mobil untuk Maura, lalu kemudian ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Maura.
“Mau kemana kita Hatasaki?”.
“Mengobati hati sakit. Hari ini Maura jadi turis, saya jadi guide ya.”, Hatasaki tersenyum, sambil menatap Maura. Maura membalasnya dengan sebuah anggukkan.
Mobil mulai berjalan keluar dari pelataran guest house. Mobil melewati jalanan yang berkelok-kelok dengan pemandangan pepohonan yang sudah jarang, tergantikan dengan berbagai bangunan yang memiliki arsitektur yang unik. Beberapa label guest house dan restoran tertera pada bagian depan bangunan-bangunan tersebut. Jalan semakin menurun dan mulai memasuki jalan raya, dimana kendaraan lebih banyak terlihat. Rona semi-metropolitan dari kota Bandung mulai terlihat, meski mungkin tidak seperti Jakarta dimana gedung-gedung pencakar langit jadi pemandangan, tapi keramaian jalanan seperti menarik Maura pada kenyataan setelah sebelumnya terperangkap suasana sepi di area guest house maupun tempat wisata yang meski ramai orang, tetap damai dalam suasana liburan tanpa terburu-buru.
   Mobil melewati kolong jalan layang Pasupati, terus meluncur lalu berhenti di dekat sebuah tempat yang mirip alun-alun. Di samping tempat tersebut banyak terdapat gerobak penjual makanan.
“Ayo kita sarapan dulu Maura.”, Hatasaki turun dari mobil, Maura mengikutinya.
Hatasaki langsung menghampiri salah satu gerobak yang menjual serabi. “Maura mau makan apa, kah?”, Hatasaki menoleh ke arah Maura. “Sama saja dengan Hatasaki.”, Maura tersenyum.
“Serabi oncom itu enak. Saya suka sekali rasanya. Oishii..”, di sela-sela menikmati serabi, Hatasaki nyeletuk. “Nanti kita ke museum ya, Maura.”, Hatasaki mengerling ke arah sebuah bangunan yang tidak jauh dari tempatnya.
Maura mengerutkan keningnya, menahan senyum tapi tetap mengangguk seraya mengunyah makanannya.
***

Museum Geologi Bandung. Maura ingat pertama dan terakhir kalinya dia menginjakkan kaki di museum itu adalah ketika dirinya masih mengenakan seragam putih merah. Rambutnya yang dulu masih pendek berkibar-kibar ketika memasuki gerbang museum. Dulu, rasa penasarannya akan museum itu adalah keinginannya untuk melihat rangka T-Rex secara langsung, mengukur seberapa tinggi T-Rex yang dilihatnya di film Jurassic Park yang berulang kali ditontonnya dengan papa. Entah dengan sekarang, dia hanya menurut ketika Hatasaki membawanya masuk ke dalam museum.
Setelah mengambil booklet museum, Maura dan Hatasaki mulai berkeliling. Melihat-lihat berbagai koleksi museum. Patung-patung dan benda-benda bersejarah yang tersimpan apik di dalam kotak-kotak kaca. Aneka diorama yang mengingatkan Maura pada film Night at Museum, ‘Akankah mereka hidup ketika malam?’ Maura membisikkan imajinasinya kepada Hatasaki, lalu mereka tertawa berdua. Selesai mengelilingi museum, mereka berjalan beriringan hendak keluar dari museum.
“Kamu tahu Maura, kenapa ada museum?”.
“Untuk menyimpan benda bersejarah?”.
Hatasaki menggeleng. “Untuk kembali melihat masa lalu, belajar dan mengobati rasa sakit untuk bersiap menghadapi masa depan.”. Maura menghentikan langkahnya dan menatap Hatasaki.
***

“Saya mau yoghurt special leci. Hatasaki mau apa?”, Maura menuliskan pesanannya pada sebuah kertas buram berukuran kecil.
“Saya yang strawberry yah Maura.”.
Maura mengangguk lalu menuliskannya, setelah memberikan pesanannya, pelayan tersebut memberikan sebuah nomer. Maura dan Hatasaki keluar dari bangunan utama Yoghurt Cisangkuy lalu memilih untuk duduk di luar, pada sebuah meja bundar dengan ditutupi payung besar. Udara yang begitu segar dengan pemandangan pepohonan sayang sekali kalau harus dilewatkan. Sambil menunggu pesanan Maura dan Hatasaki banyak bertukar cerita soal pekerjaan mereka.
“Sebenarnya, saya sengaja jadi guide tour. Berharap dalam salah satu perjalanan yang ada, saya bisa bertemu kembali dengan Panca.”. Maura menghela nafas. “Hampir dua tahun menjadi guide tour dan semua pencarian itu nihil. Terlalu bodoh.”.
Seorang pelayan dengan nampan berisikan dua gelas datang. Pelayan tersebut kemudian menaruh gelas berisikan yoghurt yang terlihat begitu segar dengan bintik-bintik air di permukaan gelasnya. Hatasaki mengambil gelas dengan warna merah mencolok di dalamnya, buah strawberry segar dan sirup berwarna merah di dasar gelas. Tangannya kemudian mengaduk yoghurt, yang berubah menjadi warna merah muda.
“Maura tahu tidak apa persamaan yoghurt dengan hati sakit?”.
Maura mengerutkan keningnya lalu menggeleng.
“Yoghurt itu asam, sedikit menakutkan mendengar cara pembuatannya oleh bakteri. Tapi yoghurt bisa dinikmati dengan enak dan memiliki manfaat baik untuk sehat. Hati sakit juga begitu, rasanya perih, tidak enak. Tapi kalau dinikmati, pasti sembuh dan tidak sakit lagi.”.
***

Artspace? Maura mengerutkan keningnya. Darimana Hatasaki tahu ada artspace di tempat nyempil seperti ini? Maura turun dari mobil melihat sekeliling. Matahari mulai tidak terlalu terik, tapi tetap menyilaukan, udaranya sedikit aneh, panas tapi dingin sehingga Maura memutuskan untuk meninggalkan mantelnya di dalam mobil.
Maura memperhatikan sekitar dari tempat mobil di parkir. Sebuah bangunan utama dengan kaca di sekujur bangunan. Halaman yang dibuat taman dengan patung disana-sini, patung besi dan patung kayu dengan bentuk abstrak penuh makna.
Hatasaki merangkul Maura dan mengajaknya masuk ke dalam bangunan utama. Mereka masuk ke dalam ruangan dengan aneka foto dengan gambar-gambar yang menurut Maura aneh. Melihat-lihat seisi ruangan berbagai karya seni yang dipajang, merasa clueless. Dalam hati Maura hanya berkata itu semua bagus, Maura tidak bisa mencerna setiap detail dari karya seni yang dilihatnya. Jangankan mencerna, mengetahui jenis aliran karya seni tersebut apa, maura tidak tahu.
Artwork itu seperti perasaan. Hanya yang membuatnya yang tahu apa maknanya.”.
Maura hanya mengangguk. Hatasaki membawanya keluar dari ruangan tersebut, menaiki sebuah tangga ke lantai dua. Sebuah restoran dengan dipenuhi cahaya matahari. Hatasaki membawa Maura ke bagian balkon restoran dengan kursi-kursi besi dan meja bundar. Mereka berdua duduk di salah satu meja, kemudian seorang pelayan menghampiri. Mereka berdua mulai memesan makanan.

“Hanya nggak paham kenapa Panca meninggalkan saya tanpa alasan. Pergi tanpa kabar sama sekali. Apa yang salah?”.
“Hanya Panca yang tahu Maura. Sama seperti melihat artwork tadi, hanya pembuatnya yang tahu maknanya. Kita cukup menikmatinya, boleh jadi menerkanya, tapi tidak boleh terlalu larut di dalamnya. Larut di dalam tidak mengerti. Membuang waktu, melepaskan apa yang seharusnya kita mengerti dan dapat kita nikmati. Kamu punya banyak perjalanan indah yang seharusnya kamu nikmati Maura. Kamu telah rugi dua tahun.”.
“Hatasaki...”.

Hatasaki kemudian bangkit dari kursinya, tangannya menarik pelan tangan Maura. Membawa Maura ke sisi lain bangunan. Mereka berdua berdiri di pintu yang menyambung kepada sebuah jembatan kayu. Maura mengenali jembatan itu sebagai dermaga langit Lawang Wangi Artspace, dari foto yang di-share pada social media temannya. Hatasaki membawa Maura meniti jembatan tersebut sampai berada di ujung jembatan yang berukuran lebih lebar. Semburat cahaya matahari sore membuat pemandangan pepohonan di sekitar artspace semakin indah. Hatasaki membawa Maura ke salah satu sudut jembatan yang menghadap ke hamparan pemandangan pepohonan dan bangunan yang lebih rendah.

“Maura, Bandung adalah dataran rendah yang dikelilingi pegunungan. Anggap saja ini titik paling rendah, titik awal dimana kamu akan memulai kembali.”, Hatasaki memegang bahu Maura dan meremasnya pelan. “Selamat datang di kehidupan yang baru, Maura. Selamat, hati sakit kamu sudah sembuh.”, Hatasaki tersenyum. Mata Maura berbinar, tersenyum dengan hati berdebar melihat matahari yang mulai tenggelam. Maura berbalik lalu langsung memeluk Hatasaki dan berbisik. “Terima kasih Hatasaki.”. 

 

No comments:

Post a Comment