Acara
kumpul-kumpul trio kwek-kwek, Ari, Fian dan Tito jadi sebuah event yang jarang sekali. Padahal
ketiganya satu kampus. Sekalinya kumpul, hanya sebentar dan suasananya sedikit
hambar. Ngga seperti biasanya. Biasanya heboh, cekikikan, ada aja yang
diomongin dan digosipin. Dari pembicaraan penting, sampai yang ngga penting.
Nggak pernah kehabisan bahan pembicaraan, yang ada kehabisan uang gara-gara
pesen makanan melulu buat nemenin ngobrol yang berkepanjangan dan tak berujung.
Setiap detail tempat mereka berkumpul, pasti menjadi bahan pembicaraan. Tapi
semenjak suatu kejadian yang begitu dramatis dan sinetron abis itu, acara
kumpul-kumpul trio kwek-kwek itu menjadi sesuatu yang sangat hambar. Sesuatu
yang kayaknya too tired untuk
dilakukan lagi.
“Gue capek!
Capek banget! Capek sama kalian! Capek sama kondisi kayak gini!” Tito tiba-tiba
meluap-luap, mengetahui bahwa Tito the
sweet one diantara mereka bertiga, dan tiba-tiba berlaku seperti itu tentu
membuat Fian dan Ari sedikit terperangah. Wajah Tito memanas, “Capek liat
tingkah laku kekanak-kanakan kalian! 7
tahun lebih kita bareng, susah-seneng kita laluin bareng-bareng. Tapi
sekarang?? Sekarang malah Gue ngerasa sendirian. Sendirian banget! Mana all for
one, one for all?? Mana Fian-Ari-Tito?? Gua sekarang bener-bener ngerasa sendirian.
Setiap ketemu, oke fisik kalian ada disini, tapi Gue nggak ngerasain kehadiran
kalian sama sekali disini! Gue capek terus-terusan diem, cuma jadi penonton!
Gue menderita tau! Mungkin kalian pikir ini cengeng. Tapi sadar nggak sih, 6
tahun itu bukan waktu yang sebentar. Masa cuma gara-gara Marissa semuanya
berantakan kayak gini??”. Tito memejamkan matanya kemudian menghela nafas dan
melanjutkan kata-katanya yang sukses membuat Fian dan Ari cuma bisa melongo
melihat Tito meluap-luap seperti itu. “Lo Fian, Gue tau Ari salah banget nggak
nyadar posisi dia. Tapi itu manusiawi. Lo nggak bisa melarang orang untuk jatuh
cinta, atau nentuin sama siapa orang itu seharusnya jatuh cinta. Lo nggak bisa
begitu. Allah bisa membolak-balikkan isi hati manusia. Apapun mungkin terjadi.
Itu natural. Lo nggak bisa untuk mengatur hal itu. Lo nggak berhak untuk marah,
atas apa yang Ari rasain. Gue juga tau, Ari pasti ngerasa bersalah banget. Tapi
hati, perasaan? Siapa yang tahu? Siapa yang tahu kapan cinta bakalan dateng?
Siapa yang tahu sama siapa kita bakal jatuh cinta? Mata merekam semua yang
terjadi, apa yang kita lihat dan kita merasa itu indah, pasti langsung jadi fireworks di hati kita, jadi butterfly yang berterbangan di perut
kita. Mungkin kita bisa menahan apa yang kita rasa, tapi tetap yang namanya
perasaan nggak bisa dibohongin dan nggak bisa dihapus gitu aja. Lo harus ngerti
itu Fian, Gue tahu itu menyakitkan banget ketika tau sahabat Lo sendiri suka
sama cewek Lo. Gue tau kok, Ari tau gimana posisi dia. Nggak mungkin dia
merebut Marissa dari Lo.”, setelah selesai menceramahi Fian, mata Tito beralih
ke Ari.
“Tapi di satu sisi Lo juga salah Ri. Oke,
It hurts to love someone
who doesn’t love us, then but more painful when we love someone and never dared
to say. Gue ngerti pasti sakit banget untuk
menyimpan sesuatu itu. Ditambah lagi kenyataan kalo wanita itu, milik sahabat
sendiri. Tapi nggak seharusnya Lo bilang itu di depan Marissa. Itu bisa
mempengaruhi Marissa, lebih-lebih lagi Fian, pasti frustasi ngedenger itu. Ada
sisi baiknya Lo bilang itu ke Marissa di depan Fian, daripada Lo bilang itu di
belakang Fian. Itu lebih menyakitkan buat Fian. Tapi, menurut Gue sebaiknya Lo
cuma bilang sama Fian, dan make it clear,
kalo Lo nggak akan pernah merebut Marissa. It’s
only a sudden feeling. Kalo Marissa tau, Gue khawatir dia bakalan sedikit
berubah. Menghindar itu Gue yakin udah pasti, tapi kalo perasaan yang lain? Gue
nggak jamin.”
Hening.
Tito menahan untuk mengeluarkan kembali
segala unek-uneknya. Dia menunggu diantara dua laki-laki yang ada di hadapannya
berbicara.
“Mungkin Gue salah banget, ngga lihat posisi Gue. Ngga
nyadar diri sama posisi Gue, Marissa, terlebih lagi Fian. Mungkin egois banget
yaah, tapi waktu itu emang Gue bener-bener ngga bisa menahan perasaan. Maafin
Gue yah. Maafin Gue yah Fian. Maafin juga yah To, Lo malah jadi korban.”
“Maafin gue juga karena udah over posesif sama Marissa.
Mungkin gue nggak sadar, yang mungkin punya perasaan seperti itu sama Marisaa
bukan gue seorang. She’s mine, but not
really mine. Maafin gue atas keegoisan gue yah. Promise it won’t happen. We’re three of us. Still and always three of
us..”
“Hmmm... Ngomong-ngomong kenapa jadi mellow gini??
Hahahahaha.. Dasar pria-pria unyu ya kaliaaan.. hahahahaha”, Tito tertawa terbahak-bahak.
“Sial! Ngerusak suasana aja lo!”, Fian mengacak-ngacak
rambut Tito.
“Tau nih, kan lagi romantis gini!”, Ari menjitak kepala
Tito.
“Hey, heeey... Kekerasan dalam persahabatan ini
namanya!”, Tito mencoba berontak, kemudian merapikan rambutnya.
Trio kwek-kwek ini
kembali terhanyut dalam canda tawa mereka seperti dulu, selayaknya tidak ada
masalah berat seperti kemarin yang pernah terjadi. Hari demi hari, minggu demi
minggu, bulan demi bulan, trio kwek-kwek ini pun semakin solid, meski waktu berkumpul
mulai berkurang. Ketiganya telah lulus kuliah dan mulai memiliki kesibukan
masing-masing. Ketiganya sepakat untuk selalu menyisakan Friday Night setiap minggu untuk sekedar kumpul-kumpul, bercanda,
atau cerita kegiatan masing-masing.
“Hmmm... Lama-lama
kita jadi kayak cowok rumpi yah? Arisan setiap jumat malem..”, Fian
melonggarkan dasinya kemudian melipat lengan kemejanya.
“Lo aja kali..
Haha.. Berasa om-om kantoran cari hiburan.. Gue sih masih berasa anak muda yang
lagi hang out..”, Tito menggoda Fian sambil menunjuk-nunjuk outfit-nya yang super casual dengan t-shirt
pop art bergambar volkswagen.
Ari yang sedang
melamun sambil mengaduk-ngaduk punch-nya
tiba-tiba nyeletuk, “Marissa apa kabarnya?”. Pertanyaan Ari membuat Fian
sedikit tersentak. Tito pun terbawa sedikit kaget. “I’ve missed her..”, pernyataan Ari berikutnya membuat ekspresi Fian
dan Tito semakin menjadi-jadi. Kemudian Ari terbahak-bahak. “Serius gue kangen
sama dia, biasanya tiap kumpul kan dia ngikut. Easy bro, it’s not the same i used to be. Gue yakin, Tito juga
pasti kangen sama dia. Iya kan To?”
“Iya, gue kangen
juga sih sama Marissa. Tapi gue nggak kangen tuh disaat-saat dia merebut
perhatian kalian berdua dari gue!”, Tito melipat tangannya. Sesaat ketegangan
di raut muka Fian mulai menurun.
“Marissa baik-baik
aja kok. She’s kind of busy. Dia
fokus nyelesein skripsinya, bulan depan sidang kayaknya. Gue nggak mau sampai
dia keganggu. Tiap ketemu juga gue nunggu dia yang ngajak. Gue nggak mau
ngacauin dia, biar dia bisa fokus di skripsinya dulu tanpa harus mikirin
hal-hal kecil yang suka bikin cewek kepikiran.”.
“I always know, that you’re the best for her.”.
“Aaaah sotoy lu
Ri!”
Mereka bertiga kembali cekikikkan. Begitulah memang
seharusnya, Fian-Ari-Tito. Completed each
other seperti biasanya penuh dengan gelak tawa. Fian si super serius-promotion-manager, Ari si businessman-serba-ada, Tito si interior-designer-nyentrik. Meski telah berpisah dengan kesibukan
masing-masing, ikatan persahabatan masih begitu kuat mengikat ketiganya.
“Hallooo pria
tampan!”, Marissa tersenyum kemudian mulai memakai helm yang diberikan Fian.
“Issshhh... Kamu
menghina yah sayang? Aku lagi pake helm
full-face kamu katain tampan??”, sepasang mata Fian melotot ke arah
Marissa.
“Oopsie.. Pake helm
aja udah tampan, apalagi nggak.. Kita mau kemana sih?”.
“Ra-ha-sia... Udah
yuk naik...”.
“Uggh.. Fian...
Fian... Aku kan udah bilang nggak suka naik motor tinggi-tinggi begini.. Dan
kamu jangan ngebuuuut!”, Marissa naik ke motor kemudian mencubit bahu Fian.
“Baik tuan putri..
Kencangkan sabuk pengamannya yah..”.
“Marissa..”, Ari
dan Tito kaget melihat seseorang yang bersama dengan Fian. Marissa kaget,
kemudian menggenggam tangan Fian lebih erat sambil bersembunyi di balik badan
Fian. Fian tertawa sambil melirik ke arah Marissa.
“Marissa ngapain
takut sih? Kita-kita kan bukan monster ya Ri?”, Tito ikut tertawa.
“Iya.. Lo kaya lagi
liat setan aja sih.. Kalo Tito emang yah sedikit dimaklumi..”, sahut Ari.
“Ayo donk sayang,
semua masih sama seperti dulu..”, Fian menarik pelan Marissa sambil sedikit
berbisik. “Hello you guys..”, Marissa
bergeser kemudian menyapa dengan suara pelan.
Mata Ari tidak
sedikit pun lepas meneliti Marissa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tetap
manis dan menawan, dengan dress berwarna biru langit bertaburan polkadot warna
putih. ‘Hey sweet.. Debar itu masih ada..
Terasa disini..’. Ari kemudian sedikit membuang muka. ‘You got his heart
and my heart and none of the pain’
“Eh Ri, lo katanya
mau bawa pacar baru lo.. Manaaaa?”, Tito mencolek Ari.
“Belum resmi juga
kaliii.. Masih pendekatan.. Clara. Lagian kalo gue bawa, lo nggak apa emang?
Jadi kamcong?”, Ari melirik Tito dengan tatapan mencemooh.
“Haha.. Bener juga
yah lo..”, Tito merangkul Ari. Fian cuma cekikikan melihat kelakar dua
sahabatnya.
Sweet Morning..
‘Halo sayang.. Good luck ya sidangnya nanti.
Maaf Fian nggak bisa dateng. Tapi nanti sore Fian jemput ke kampus ya. Tunggu
Fian pulang kantor oke? Love you...’. Sebuah voice note dari Fian yang membuat Marissa senyum-senyum sendiri
ketika sedang menunggu di dekat ruang sidang.
“Love you too..”, Marissa kemudian
mengecup ponselnya.
Afternoon, other place..
“Clara, sorry I can’t make it today.. Gue harus
jemput seseorang. Something really bad
happened. Okay? Sorry okay?”, setelah mematikan ponselnya, Ari mulai
memutar arah mobilnya.
Afternoon, at the same time we
finally met..
Marissa
duduk di depan pos satpam kampusnya. Masih dengan setelan sidangnya, kemeja victorian warna off white dan rok rimple
selutut warna khaki, di pangkuannya terlipat blazer dengan warna senada dengan
roknya. Di sebelahnya tasnya dan laptop case
duduk manis. Sudah satu jam Marissa menunggu, seharusnya satu jam yang lalu
Fian telah tiba. Fian sulit dihubungi. Marissa sedikit-sedikit melirik ke jam
tangannya sambil mengetuk-ngetukan black
pump shoes-nya.
“Yuk Marissa..”, Marissa yang sedari tadi tertunduk
memandangi sepatunya langsung berbinar dan menegakkan wajahnya.
“Ari?”, Marissa mengerutkan keningnya menatap Ari yang
kini telah membantunya membawakan tas dan laptop case-nya.
“Yuk.. Jangan bengong-bengong dulu...”, Ari menarik
tangan Marissa pelan.
“NGGAK!”, Marissa menepis tangan Ari kemudian bangkit
dari tempat duduknya. “Fian mana?”, Marissa memelankan suaranya kemudian
mencoba melirik ke arah sedan putih Ari yang terparkir tidak jauh. ‘Kosong...’.
“Ayo Marissa...”, Ari kembali menarik tangan Marissa
sedikit lebih kencang.
“GUE NGGAK MAU!!!”. Marissa meronta-ronta, tapi Ari
berhasil menarik Marissa sampai ke dekat mobilnya. Ari melepaskan tangan
Marissa, kemudian menaruh barang-barang Marissa di jok belakang mobil.
“Lo tuh ngapain sih? Fian mana?”, Marissa menarik baju
Ari kemudian berusaha mengambil barang-barangnya kembali.
“Balikin barang-barang gue...”. Ari menghela nafas
kemudian memegang kedua tangan Marissa yang sedari tadi memukulinya. “Marissa, please.. Don’t make it harder..
Please..”. Ari menatap Marissa, satu tangannya kemudian membukakan pintu
untuk Marissa.
“PLAAKK!”, Marissa menampar Ari sekuat tenaga.
“Oke.. Fian kecelakaan Marissa.. FIAN KECELAKAAN.. Aku
kesini jemput kamu Marissa..”. Marissa lunglai mendengar kata-kata yang
mengalir dari mulut Ari. Ari mengusap wajahnya kemudian memukul mobilnya. “Sorry Marissa... Sorry...”, Ari kemudian membantu Marissa masuk ke dalam mobil.
“Marissa...”, Tito
bangkit dari tempat duduknya di samping Fian yang diam terbaring. Tito memapah
Marissa yang sepertinya begitu rapuh, membimbingnya untuk duduk di kursinya
tadi. Ari mengikuti di belakangnya.
Marissa duduk di samping Fian. Jemarinya menyentuh wajah
Fian yang penuh lebam dengan perlahan. Marissa kemudian menyentuh tangan Fian,
lalu menunduk dan mulai menangis.
‘Kamu janji untuk menjemputku bukan? Kamu janji begitu.. Oh please, Fian..
Aku nggak masalah kamu nggak ada di sampingku waktu sidang tadi.. Tapi kamu
sudah janji untuk jemput aku.. Kamu pernah bilang kan, janji lelaki itu harus
ditepati..’.
Satu jam Marissa
terdiam duduk di samping Fian, rasanya Marissa sudah tidak sanggup
berkata-kata, hanya bisa terdiam memandangi Fian yang terbaring lemah dengan
mata tertutup.
“Marissa..”, sepasang tangan menyentuh bahunya perlahan. Marissa
menoleh, Tito mencoba tersenyum. “Kita pulang dulu yuk.. Kamu harus ganti baju
dan istirahat dulu.. Malam ini keluarga Fian yang jaga. Besok kita kesini lagi
ya?”, Tito mencoba membujuk Marissa. Ari berdiri di dekat pintu sambil
menyender ke tembok kamar. Marissa kemudian kembali menoleh ke arah Fian yang
sedari tadi dipandanginya, ditatapnya lekat-lekat wajah itu.
“Gue duluan ya
Marissa. Ri, hati-hati lo.. Jangan ngebut-ngebut! Make sure Marissa safe
sampai rumah.. Bye Marissa..”, Tito
kemudian keluar dari mobil Ari.
“Bye Tito.. Thanks ya..”, Marissa membuka kaca mobil
kemudian melambaikan tangannya. Mobil Ari pun kembali melaju.
“Ari.. Maaf tadi aku.....”.
“Ssst... Nggak apa, nggak usah dibahas. Anyway, happy graduation Marissa..
Selamat jadi sarjana..”.
“Thanks ya
Ri..”. Marissa menghela nafas. “Hmm.. Is
it about balancing life? Ketika aku baru merasakan bahagia kemudian harus
hancur sedih melihat Fian terbaring seperti itu?”.
“No Marissa..
Kamu jangan berpikir seperti itu. Semuanya takdir. Fian pasti baik-baik aja.. Trust me..”
The next day..
“Tuh kan aku udah
beneran nyanyi Fian.. Kamu bangun donk.. Jangan merem aja.. Tepuk tangan buat
aku.. Ayo donk Fian.. Bangun.. Please..
Bangun...”, Marissa menggenggam tangan Fian kemudian kembali menunduk dan
menangis.
‘Hey girl.. If only I was the boy that lie down there, would you cry on me
like that?’, Ari menggelengkan kepalanya kemudian membuka pintu
ruangan Fian lebih lebar lagi dan masuk ke dalam.
“Marissa.. Kita makan dulu yuk..”, Ari tersenyum sambil
menggoyang-goyangkan plastik berisi kotak makanan. “Kamu kan belum makan dari
tadi pagi.. Ayo Marissa...”.
One week after..
“Sorry, gue nggak bisa lagi Clara.. Ya.. There’s something urgent.. Maybe next time,
‘key? See you soon..”.
“Padahal kamu nggak perlu sampai ngebatalin janji Ri.. Aku
kan cuma fitting kebaya aja.. Dari
sini juga aku kan tinggal pake taxi. But,
thanks anyway..”, Marissa yang sedari tadi telah berdiri di dekat Ari nggak
sengaja mendengar semua pembicaraan Ari di telpon.
‘Cause I got time while she got freedom. Cause when a heart breaks no it
don’t breakeven’
Ari menoleh,
didapatinya Marissa dengan kebaya warna Caribbean
Blue berdiri manis di dekat pintu. Sesaat Ari terdiam meneliti Marissa dari
ujung kepala hingga ujung kaki.
“Gimana menurut kamu?”, Marissa tersenyum sambil bertolak
pinggang.
“Perfectly
beautiful..”, Ari masih meneliti setiap inchi figur Marissa. Meski tanpa make up dan dengan wajah lelah,
dilengkapi warna kehitaman di dekat matanya, Marissa tetaplah sempurna.
Sempurna cantiknya. ‘Kebaya itu jadi
cantik karena kamu yang pakai. Tanpamu, kebaya itu tidak ada apa-apanya.’.
Ari memejamkan matanya sesaat berusaha menampilkan figur tadi kembali di pikirannya.
“Mbak, tapi ini rasanya dipas dikit lagi deh.. Kayanya
kurang bagus kalau terlihat longgar.. Bisa ditunggu?”, Marissa menoleh ke arah pegawai
yang menunggu di sebelahnya. Pegawai itu kemudian mengangguk.
“Bentar ya, Ri..”, Marissa tersenyum kemudian masuk lagi.
Same day, another place..
“Fian.. Lihat ini..
Kebayaku udah jadi loh.. Gimana? Cantik kan.. Caribbean Blue, bahan yang waktu itu kamu pilihin buat aku.. Ah
coba kamu bangun, kalau kamu lihat kebaya ini pasti banyak yang kamu cela..
Kurang ini kurang itu...”.
‘Hey girl.. You know that you’ll always perfectly beautiful in any way? If
only i could be him..’.
Graduation day..
“Happy graduation day, girl..”, Ari
tersenyum sambil membawakan buket mawar putih, kemudian menyalami Marissa.
“Waw.. Thanks..”,
Marissa menerima buket bunga kemudian mengecup pipi Ari. Ari kaget sampai
terdiam sesaat.
“Tito minta maaf karena nggak bisa dateng.. Ada
presentasi mendadak katanya. Dan.. Bunga ini.. Mungkin mewakili Fian..”.
“Dia selalu ngasih aku mawar putih..”, Marissa memandangi
buket bunganya. “Ri, ikut makan sama keluargaku ya?”, Marissa tiba-tiba menarik
tangan Ari.
“Makan gratis? How
can’t I resist?”. ‘Mau disuruh bayar
makan semahal apapun, asal denganmu aku mau...’.
“Mbaknya nggak foto sama Masnya yah??”, fotografer di
studio foto melirik ke arah Ari yang berdiri di sisi.
“Dia bukan pacar aku kok Mas..”, Marissa kembali berpose
dengan toganya. “Eh wait.. Wait.. Iya
deng Ri, kita foto berdua yah?”.
“Apa??”, Ari langsung gelagapan mendengar perkataan
Marissa.
“Iya.. Jadi kan ada space
buat mukanya Fian nanti..”, Marissa nyengir. “Mau kan, Ri?”, wajah innocent Marissa yang setengah memelas
paling nggak bisa membuat Ari menolak meski sakit hatinya mendengar permintaan Marissa.
“Oh.. Sure...”.
‘What am I gonna do when the best part of me was always you, and what am I
suppose to say when I’m all choked up that you’re ok..’
One week later..
“Fotonya bagus-bagus
ya Ri?”, Marissa memandangi hasil foto wisudanya. “Coba ada Fian.. Sama Tito
juga.. Pasti lebih menyenangkan..”.
Ari menelisik setiap foto yang terhampar di meja sambil meminum
Mojito Kiwi-nya. Tangannya kemudian
menyentuh sebuah foto berukuran paling kecil diantara yang lain. Fotonya duduk
berdampingan dengan Marissa.
“Foto ini.. Boleh buat aku?”. Marissa menoleh ke arah
foto yang ditunjuk Ari.
“Boleh kok.. Ambil aja Ri..”, Marissa tersenyum kemudian
kembali asyik melihat foto-fotonya.
Ari kemudian mengambil dompetnya dan memasukkan fotonya.
“Ri, sorry ya
selama ini aku banyak banget ngerepotin kamu.. Aku nggak tau deh kalau Fian
nggak punya temen sebaik kamu dan Tito yang care
banget, sampe masih mau nyempetin untuk nganter aku atau sekedar nemenin
aku..”.
“Nggak apa Marissa, that’s
what friends are for..”. ‘I want to
scream, because that is the thing that I really love to do..’
“Thanks bunch..
Tapi.. Aku jadi nggak enak banget, kamu jadi sering cancel janji kamu sama Clara cuma gara-gara aku..”.
“Nggak apa-apa kok Marissa. Lagian kayanya aku sama Clara
really can’t make it..”.
‘Gimana bisa make it.. Setiap mau ketemu Clara selalu ada kamu. Kamu dengan
hal kecil yang rasanya penting buat aku berada disana.’.
“Kenapa? Eh.. Sorry.. Nggak usah dijawab kok Ri.. You’ll find someone out there..”,
Marissa tersenyum. Mata bulatnya menatap Ari lekat-lekat.
“Marissa.. Kamu tahu...”.
“Eh, mamanya Fian telpon..”, Marissa kemudian mengangkat
ponselnya.
‘Kamu tahu.. You’ll always be that someone.. I’ve found you.. But nothing
can I do..’ Ari menatap Marissa yang berceloteh dengan ponselnya.
“Ri! Fian udah sadar! Fian SADAR!”, mata Marissa
berbinar-binar sambil mengguncang-guncang lengan Ari.
‘Her best days will be some of my worst. She finally met a man that’s gonna
put her first..’
A wake up call..
“I’ve been missed you so much..”, Marissa
menggenggam tangan Fian sambil tersenyum tapi tetap berurai air mata. Jemari
Fian menekan-nekan tangan Marissa yang menggenggamnya.
“Maaf yah.. Aku tidurnya kelamaan..”, Fian berusaha
tersenyum, rasanya otot-ototnya mati rasa karena sudah lama tidak digerakkan.
“Ssstt.. Kamu udah
diem aja.. Kedip-kedip aja.. Jangan banyak omong dulu.. Aku udah bahagiaaaaaaa
banget ngeliat mata kamu terbuka lebar seperti itu..”, telunjuk Marissa
menyentuh pelan pelipis mata Fian.
‘Hey Ari.. Time to wake up.. Wake up from a long time
sweet dream..’. Panas mata Ari memandang pemandangan itu meski dari
jauh. Ari menghela nafas sesaat kemudian berbalik hendak keluar dari ruangan. ‘They said bad things happen for a reason,
but no wise words gonna stop the bleeding..’
“Hey..”, suara pelan Fian menghentikan langkah Ari, Ari
kemudian berbalik berusaha tersenyum. “Thanks
ya Ri.. For everything.. Moreover for taking care of my Marissa..”,
Fian tersenyum.
“Anytime, Bro..”.
“Thanks..”,
ujar Fian kembali.
“Gue.. Balik dulu yah.. Ngenes gue liat kalian
mesra-mesraan..”, Ari menjulurkan lidah, kata-katanya membuat Marissa tertawa.
‘So you need to know.. I always love her bro.. Always be..’, Ari kemudian kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya.
I'm
falling to pieces (Oh I'm glad your
okay)
I'm
falling to pieces (One still in love while the other ones leaving)
I'm
falling to pieces (Cause when a heart breaks no it don't
breakeven)
*Some of italic words is lyrics of Breakeven by The
Script
30 November 2012
Galuh Fajriyah Galura
No comments:
Post a Comment